Nicholas Sparks boleh bangga beberapa tahun terakhir ini lantaran adaptasi novel-novel karyanya diborong Hollywood dan beberapa patut diacungi jempol. The Notebook, Night at Rodante, Dear John, When in Rome adalah beberapa contoh adaptasi novel Spark yang masuk kategori memorable. Bagaimana dengan The Last Song??
Ithonx bukan penggemar dan juga penghujat Miley Cyrus. Bagi Ithonx, alumni sitkom Hanna Montana ini tipikal sekali dengan anak-anak asuhan Disney lain semisal Hillary Duff dan Lindsay Lohan. Lihat postur tubuh mereka, dan coba lihat juga karir mereka. Tipikal, bukan?
Reny, teman baik Ithonx kept insisting supaya me-review film ini lantaran ini karya Spark (Spark juga menulis screen play-nya juga loh) dan dia gak mau nonton sebelum Ithonx review, he..he. Dengan pertimbangan itu, juga hadirnya Greg Kinnear dan Kelly Preston di film ini, plus DVD originalnya sudah dirilis, maka..here we are. Namun patut diingat bahwa di review ini terdapat 'spoiler' yg mungkin mengurangi kenikmatan menonton, dan juga Ithonx bukan penggemar chick flick sehingga penilaiannya sangat subjektif.
The Last Song bercerita tentang Veronica yang dipanggil Ronnie dan adik laki-lakinya yang mungkin masih SMP. Mereka di 'dampar'kan sang ibu ke rumah ayah mereka yang berada di tepi pantai selama summer break. Ibu dan ayah mereka sudah lama bercerai, dan sang ibu bahkan berencana ingin menikah lagi dengan pria lain. Jonah, sang adik, sangat antusias menghabiskan tiga bulan liburannya bersama sang ayah. Lain halnya dengan Ronnie yang sang pemberontak, dia malah sering membuat sang ayah jengkel dengan tingkah lakunya. Dari dialog-dialog mereka kita bakal tahu kalo Ronnie membenci sang ayah lantaran perceraian, ketidak pedulian sang ayah, dan blah..blah...blah...sehingga Ronnie tidak punya keinginan masuk kuliah dan berhenti bermain piano.
Kemudian datanglah William. Dengan cara bertemu yang klise akhirnya mereka jatuh hati. Ronnie berubah jadi ceria: berenang diakuarium, tidur ditepi pantai menunggui tukik menetas, bercanda dengan sang adik, dan baikan dengan sang ayah. Hampir satu jam kita akan disuguhi adegan-adegan cinta monyet yang gak penting. Sementara William digambarkan sebagai sosok teenage hunk yang sempurna (tampan, atletis, pintar otomotif, main volly dan kaya), sosok Ronnie digambarkan sebagai pribadi yang labil dan menjengkelkan (rebel without a cause gitu deh). Beberapa kali ada kesalah pahaman diantara mereka dan Ronnie selalu menyalahkan Will yang tanpa cacat itu. Kesel gak?
Di menit ke 50 an kita akan menghadapi kenyataan bahwa ternyata Will adalah.....gay. Ha..ha..bukan..!! Will adalah anak orang kaya yang tinggal di sebuah mansion. Ketika Ronnie diajak ke mansion dan diperkenalkan dengan orang tua Will, kita diajak berfikir bahwa cerita akan berubah menjadi dongeng ala Cinderella. Lagi-lagi Ronnie salah paham dan marah-marah tanpa sebab sehingga penonton sangat malas bersimpati dengan karakter ini. Will akhirnya terus terang bahwa dia sangat tidak bahagia tinggal dengan ortu kaya, apalagi sang kakak baru saja meninggal (klise!!). Di bagian ini kita mau tidak mau membandingkan plot film ini dengan Remember Me. Tapi tunggu dulu, Liam Hemsworth tidak bisa di bandingkan aktingnya dengan Robert Pattinson. Kalo mau kasar, Liam kerjanya cuma "always tries to look good" tanpa akting yang memadai.
Tiga puluh menit terakhir plot berubah yang awalnya tentang Ronnie dan Will, menjadi Ronnie dan Dad. Saat semuanya akan berakhir bahagia, Ronnie harus menerima kenyataan bahwa sang ayah terkena kanker dan umurnya tak lama lagi. Dan akhirnya menit-menit terakhir film ini diisi penyesalan Ronnie terhadap sikapnya dan lagi-lagi salah paham dengan si Will..!!!
Lalu apa yang tidak beres dengan film ini? Mari kita analisa (ha..ha)
1. Jelas filmnya jadi tak tentu arah dengan mengubah plotnya. Poster dan synopsisnya menggadang-gadangkan kisah cinta Will dan Ronnie (Liam dan Miley memang pacaran beneran), nyatanya walau porsi cinta klise mereka banyak tapi malah berakhir menjadi Ronnie dan Dad. Apalagi kisah summere love Will dan Ronnie benar-benar datar dan tanpa konflik berarti.
2. Jika pada akhirnya hubungan Ronnie dan Dad akan dijadikan prime plot, mengapa tidak dibangun dengan bagus diawal cerita? Penonton sudah dibuat jengkel dengan tingkah laku Ronnie terhadap sang pacar dan sang ayah, sehingga penonton jadi malas bersimpati dengannya walau harus kehilangan sang ayah.
3. Banyaknya plot hole sepanjang cerita. Kalau diamati, Rumah Will berupa mansion dengan pengamanan ketat, tiba-tiba Marcus, seorang bully,bisa dengan mudah masuk ke pernikahan sang kakak. Selebihnya silahkan dicermati sendiri.
4. Sosok sang ayah tidak diberi ruang banyak untuk dieksplorasi. Sepanjang cerita kita dibuat berfikir bahwa sang ayah merasa bersalah dengan apa yang ia perbuat, tapi ini tidak menjadikan alasan yang kuat sebagai tumpuan yang akan membuat penonton bersimpati. Hubungan ayah anak yang digambarkan tidak membuat penonton merasa kehilangan dengan 'mati'nya karakter sang ayah. Dengan sangat tidak jelas, kita disodori plot yang mencoba mengharu biru sebagai pengganti plot kisah cinta tidak kuat diawal cerita hingga 30 menit terakhir
5. Semua hal di film ini digambarkan dengan sangat sangat sangat klise. Sosok pemberontak Ronnie dengan segala dandanannya, sosok penuh pesona William yang tiba-tiba jatuh cinta (Ronnie tidak spesial sama sekali walau dia anak baru disana), kisah cinta penuh salah paham yang menyebalkan, dan banyak lainnya.
Rasanya The Last Song tidak layak dirilis di bioskop. Ithonx yang belum pernah baca novelnya, mau tak mau harus menyalahkan penulis cerita dan Miley Cyrus yang membuat film ini menjadi "just another Miley's movie' bukan film-nya Nic Sparks. Jika di awal Ithonx menyebut-nyebut Remember Me, percayalah, film ini kualitasnya jauh dibawahnya. Liam dan Miley berpacaran beneran, tapi mereka tidak memperlihatkan chemistry yang meyakinkan.
Tapi kembali lagi, semua hanya masalah selera. Penggemar Miley akan tetap menilai film ini bgs, walau Ithonx yakin kalau penggemar chick flick akan setuju dengan pendapat Ithonx lantaran film ini tidak ada romantis-romantisnya sama sekali. Ini hanya pendapat loh. Silahkan nonton sendiri deh. And btw, Nicholas Spark harus lebih selektif lagi mengijinkan noverl-novelnya untuk diadaptasi ke film. Sembari menunggu, nonton The Notebook dulu ya....
0 comments:
Post a Comment