Ketika memutuskan untuk meneliti sebuah sitkom produksi Amerika yang masa tayangnya pertengahan tahun 90an dan pertengahan 2000an sebagai objek penelitian, Ithonx mendapatkan efek samping yang luar biasa terhadap sejarah bagaimana pertelevisian berevolusi di negara super canggih Amerika dan di Indonesia. Maksudnya, mau tak mau harus merunut lagi kebelakang tayangan-tayangan berpengaruh di Amrik dan juga di Indonesia sebagai bahan pembanding pada ulasan literaturnya. Pada dasarnya Ithonx memang lebih tertarik pada tayangan televisi daripada film-film layar lebar. Mengapa? Selain soal selera, tayangan televisi lebih mempunyai efek yang lebih luas karena di tonton semua lapisan masyarakat dan pendalam karakter bisa dikembangkan sedemikian rupa. Bayangkan serial Smallville yang memasuki musim ke sembilan (satu musim biasanya 23/24 episode) dibandingkan dengan film berdurasi 2 jam-nya Superman. Semua aspek tokoh bisa diceritakan dengan gamblang. Kita bisa tahu mengapa Lex Luthor begitu menaruh dendam dengan si manusia baja itu dan memaklumi kebenciannya dengan menonton Smallville, bukan Superman versi layar lebarnya.
Ithonx juga sering ditanya dengan teman dan murid mengapa begitu menggilai tayangan-tayangan televisi Amrik. Tidak cinta produk lokal? Salah besar. Bagaimanapun juga, tayangan bercita rasa lokal sebenarnya lebih enak ditonton ketimbang tayangan impor yang jauh dari kultur kita. Oh ya, ketika kita membicarakan tayangan televisi, tolong ya, Ithonx membatasinya hanya pada tayangan fiksi dan komedi. Mengapa? Karena Fiksi (opera sabun, series, serial, dsb) dan Komedi (sketsa, sitkom, lawak, dsb) lebih mendominasi daftar tayangan televisi dengan penonton terbanyak. Data ini diambil dari survey majalah hiburan yang menyebutkan setiap minggu 7 dari 10 tayangan ber-rating tinggi adalah tayangan fiksi dan komedi. Well, kembali lagi ke 'cinta produk lokal' tadi, sebenarnya banyak tayangan lokal selama dua dekade terakhir ini yang layak disebut berkualitas, tapi yang berupa sampah jauh lebih banyak jumlahnya. Ini berbeda sekali dengan fenomena di Amrik. Tayangan televisi kini jauh lebih berbobot dari film-film layar lebar. Indikasi ini dilihat dari makin banyaknya bintang-bintang film yang biasanya gengsi bermain di televisi setelah sukses di layar lebar, kini banyak menyerbu serial teve yang naskahnya sangat berbobot
Revolusi pertelevisian kita baru dimulai tahun 1989 saat stasiun televisi swasta pertama lahir, RCTI. Sebelumnya generasi jadul hanya bisa menikmati TVRI sebagai satu-satunya stasiun teve. Era TVRI melahirkan tayangan legendaris semisal dr. Sartika, Losmen, Jendela Rumah Kita, Pondokan, Calon Suami, Rumah Masa Depan, dan lainnya sebagai tayangan fiksi yang ditayangkan hanya sebulan sekali. Di barisan komedi, tidak terlalu banyak, yang paling-paling Ria Jenaka dan Srimulat, sementara sketsa komedi yang sporadis sering diselipkan di acara-acara musik semisal Aneka Ria Safari, Kamera Ria, atau Selekta Pop. Pada saat itu bahkan trio Warkop pun tidak punya acara televisi. Karena cuma ada TVRI doang, makanya tayangan-tayangan itu Ithonx sebut legendaris, bukan berkualitas. Mengapa? Karena belum ada pembandingnya.
Memasuki awal dekade 90an -pada saat itu perfilman nasional diambang mati suri-, tayangan fiksi dan komedi memasuki babak baru. Para insan film seolah punya media aktualisasi baru yaitu SINEMA ELEKTRONIK alias Sinetron dengan beragam genre-nya yang hanya memberi label dibelakang, misalnya Sinetron komedi, sinetron laga, sinetron anak, sinetron keluarga, dan lain-lain. Sinetron langsung di jejali dengan para bintang-binta ng film dekade awal dan akhir 90an (Ithonx menyebutnya sebagai Gelombang I). Karena banyak dibintangi pemain film, kualitas akting maupun naskah sinetron benar-benar hebat. Gelombang I ini dihiasi oleh generasi Rano Karno, Lydia Kandau, Cok Simbara, Alex Komang, Meriam Bellina, Christin Hakim yang tak lama di meriahkan juga oleh Desi Ratnasari, Paramitha Rusady, Onky Alexander, Ayu Azhari dan lain-lain. Hingga pertengahan 90an pemirsa dimanjakan dengan akting-akting luar biasa bintang-bintang tersebut. Lahirlah sinetron-sinetron bermutu seperti Saat Memberi Saat Menerima, Ibu, Benang Biru, Janjiku, dan lain-lain. Di barisan komedi lahirlah genre (jiplakan) baru yaitu sitkom semacam Gara-Gara, Lika Liku Laki-Laki, Lenong Rumpi, Keluarga Van Danoe, dan sebagainya.
Gelombang II kemudian menyusul seiring makin meriahnya dunia persinetronan Indonesia dengan bintang-bintang baru yang tak kalah berbobot. Primus Yustisio, Dede Yusuf (makin produktif), Willy Dozan, Jeremy Thomas, Adam Jordan, Ari Wibowo, Elma Theana,. Genre sinetron juga makin beragam pada era ini. Sinetron Laga semacam Deru Debu dan Jalan Membara mempunyai banyak penggemar bahkan soundtrack Deru Debu yang dinyanyikan almarhumah Nike Ardila begitu melegenda. Komedi horror juga di meriahkan oleh Kiki Fatmala dan Diah Permatasari di Si Manis Jembatan Ancol, sementara sitkom-sitkom yang telah ada sebelumnya makin manahun. Ira Wibowo, Ria Irawan, Debbi Sahertian imejnya menjadi spesialis aktris komedi. Sementara komedian masih diisi oleh para pelawak (yang membedakan nanti dengan bintang sinetron komedi). Genre Sitkom kemudian juga mengawinkan pelawak dengan bintang sinetron pria rupawan semisal Pin Pin Bo yang dibintangi Izur Muchtar (pelawak) dan Jeremy Thomas dan sebagainya.
Serbuan bintang-bintang Gelombang III disusul munculnya stasiun-stasiun teve swasta lainnya makin merajalela. Anjasmara, Primus, Jihan Fahira, Nafa Urbach, Diana Pungki, Marcellino, Marcellino Lefrand, Dini Aminarti, Rizal Djibran, Syahrul Gunawan, Kris Dayanti, Indra Bruggman, Tamara Blezinsky, dan generasi Gelombang I dan II membangun sebuah era keemasan sinetron. Bersama Moudy Kusnaedy, Cornelia Agatha dan para pelawak, Rano Karno menghasilkan lima musim legendaris Si Doel Anak Sekolahan. Primus dan Deasy Ratnasary bertaji di Cinta. Paramitha Rusady, Primus dan Atalarik sukses di adaptasi karmila. Marcelino dan Rizal Dzibran beken di Misteri Gunung Merapi (ingat juga Faridha Pasha sebagai Mak Lampir ya), Tamara dan Anjasmara sukses besar di Wah Cantinya (itu loh, si idiot Cecep), Indra Bruggman imejnya melekat sebagai pasangan si Jin cantik dengan Diana Pungky di Jinny oh Jinny, Syahrul Gunawan di Jin dan Jun. Kris Dayanti melejit dengan sinetron Ramadahan-nya (yang kemudian menjadi tren) Doa Membawa Berkah. Jihan fahira dan Lulu Tobing bergiliran mendampingi Adam Jordan, Reynold Surbakti dan Ari Wibowo di tujuh musim Tersanjung.
Genre komedi kemudian menjadi abu-abu ketika Si Doel ANak Sekolahan sukses besar. Di khususkan sebagai drama, sinetron ini malah banyak bermuatan komedi yang kocak namun bersehaja. Dekade 90 an dan awal 2000an melahirkan sinetron-sinetron berkualitas yang sangat banyak, selain Si Doel tentunya. Ayu Azhary dan Cok Simbara dipuji karena akting menawan di Noktah Merah Perkawinan, Rachel Maryam sangat pas di Strawberry (sinetron terpuji FPB), Lorong Waktu karya Dedy Mizwar juga sangat berkualitas walau bermuatan komedi. Kris Dayanti dan Ayu Azhary bermain hebat di Istri Pilihan. Anjasmara menghebohkan dan hebat di Wah Cantiknya..! Keluarga Cemara garapan Arswendo Atmowiloto bener-benar luar biasa. Hikayat Cinta yang tayang larut, dimainkan Cyndi Fatika Sari, Teuku Firmansyah dan Ferry Maryadi diakui sebagai genre sinetron remaja yang bener-bener realistis.
Pertengahan 2000an adalah era degradasi kejayaan sinetron berkualitas di pertelevisian Indonesia. penyebabnya antara lain:
1. Membanjirnya tayangan non sinetron seperti musik, reality show dan infotainment, walau sinetron masih bertengger di jam tayang utama.
2. Berubahnya pola tayang menjadi stripping. Pada era 90an dan awal 200an semua tayangan sinetron baik drama maupun komedi seminggu sekali sehingga penulis naskah kerepotan membuat naskah yang baik. Sehingga sinetron sekarang sangat terkesan asal buat.
3. Bintang-bintang sinetron masa kini terkesan asal comot. Bandingkan dengan kualitas bintang-bintang Gelombang I dan II yang kualitasnya tidak diragukan.
4. Sedikitnya penulis naskah sinetron yang berbobot sehingga tim penulis hanya mencomot atau menjiplak sinetron korea atau india atau telenovela
5. Enggannya produser mengeluarkan biaya besar demi kualitas yang baik. Bandingkan dengan sinetron laga pada era Willy Dozan, Marcellino Lefrandt dan Dede Yusuf. Keadaan ini ditambah dengan selera pasar. Produser berdalih bahwa selera pasarlah yang menciptakan trend, namun di Amrik ternyata penulis cerita dan produser lah yang menciptakan trend (contohnya Glee).
6. Sinetron, entah kenapa, berasosiasi dengan tayangan khusus perempuan padahal kata sinetron berasal dari Sinema Elektronik. Di Amrik sinetron yang khusus dibuat untuk konsumsi perempuan di sebut soap opera atau opera sabun, dan jumlahnya hanya 10 persen dari jumlah genre semua sinetron. Ini kemudian yang menjadikan pria-pria di Indonesia malu jika dibilang pencinta sinetron
Lalu bagaimana dengan sinetron dekade awal 2000an hingga sekarang?
Beberapa sinetron adaptasi dari film-film terkenal sempat marak semisal Ada Apa dengan Cinta, Lupus (Agnes Monica dan Irgy Ahmad), Mendadak Dangdut (masih baru), Catatan Si Boy, Get Married, My Heart, dan lain-lain.
Pertengahan dekade 2000an di kuasai oleh bintang-bintang muda yang aktingnya sangat pas-pasan (bahkan ada yang terkesan asal-asalan) misalnya Dude Herlino, Naysilla Mirdad, Shereen Sungkar, Teuku Wisnu, Marshanda, Baim Wong, Nikita Willy, Nia RhamadaniVelove Fexia, dan lainnnya berpredikat bintang-bintang mahal namun aktingnya sangat tidak memuaskan, sementara bintang-bintang berbakat seperti Nirina Zubir, Revalina, Agus Ringgo, Tora Sudiro, Luna Maya, Marcella Zailanti, Julie Estelle, Dian Sastro, Dina Ollivia, dan sedikit lainnya yang beberapanya mengawali karir di dunia sinetron terkesan frustasi dan hijrah kedunia film (fenemona terbalik ketika awal 90an).
Menyebut sinetron (dengan definisi sempit akhir-akhir ini) berkualitas memang agak susah saat ini, kecuali sinetron ber-rating tinggi. Penonton tidak lagi merasa menunggu-nunggu dan dirasuki rasa penasaran untuk melihat kelanjutannya. Diantara sedikit itu bisalah kita menyebut yang berkualitas adalah Bajaj Bajuri, Para Pencari Tuhan, dan hmmm apalagi ya (sumbang dong). Dengan berat hati Ithonx tidak memasukkan sinetron-sinetronnya Naysilla Mirdad kayak Cahaya dan Intan walau ber-rating tinggi lantaran ceritanya yang standar dan mengulang cerita-cerita yang sudah ada di tahun 90an. Bagaimana dengan Cinta Fitri? Sinetron yang konon digemari oleh B.J Habibie ini juga tidak menawarkan hal-hal baru dan masih seputar dengki dan perebutan pasangan. RCTI dan SCTV masih menempati urutan teratas sebagai stasiun teve yang tetap konsisten menayangkan sinetron harian yang kualitasnya sangat jeblok.
Lalu bagaimana dengan genre komedi? Makin sedikitnya jumlah sitkom membuat kata sitkom sendiri menjadi asing ditelinga. Kita disodori dengan OB, Suami-Suami Takut Istri, Kejar Tayang, The Coffe Bean Show, Bujangan, De Neni dan sedikit lainnya yang cukup menghibur. Karena komedi lebih cenderung soal selera, maka sangat susah menentukan mana yang berkualitas. Paling tidak genre ini belum mati. Sementara sitkom mengalami degredasi dalam hal jumlah, komedi berbentuk sketsa makin menjamur. Extravaganza (adaptasi Saturday Night Live) menjadi pionir sketsa komedi modern. (namun ingat, Srimulat adalah nenek moyang-nya). Sketsa komedi yang ber-rating tinggi saat ini mungkin Opera Van Java, walau diantarannya ada Tawa Sutra, Sketsa Minggu, dan sebagainya.
Sementara pesinetronan Amrik sedang berada dipuncak kualitas dan kuantitas, sinetron Indonesia mengalami degradasi super hebat. Sinetron sama dengan (=) Perempuan, begitu pikir orang, lantaran tema-tema sinetron sangat tidak beragam dan dikhususkan buat perempuan (baik karakter utama maupun plot), padahal, sekali lagi, sinetron adalah SINEMA ELEKTRONIK.
Kita merindukan sinetron lintas gender seperti Si Doel Anak Sekolahan dan Keluarga Cemara, sinetron laga pada era Willy Dozan dan Dede Yusuf, sinetron tanpa tokoh antagonis seperti Noktah Merah Perkawinan, sinetron komedi lucu Bajaj Bajuri, pokoknya sinetron yang bisa dinikmati tanpa mengkotak-kotakan jenis kelamin.
Kira-kira pada dekade kapan ya degradasi itu pulih??
Anton Ithonx (berdasarkan survey, pengamatan dan analisa pribadi)
Ithonx juga sering ditanya dengan teman dan murid mengapa begitu menggilai tayangan-tayangan televisi Amrik. Tidak cinta produk lokal? Salah besar. Bagaimanapun juga, tayangan bercita rasa lokal sebenarnya lebih enak ditonton ketimbang tayangan impor yang jauh dari kultur kita. Oh ya, ketika kita membicarakan tayangan televisi, tolong ya, Ithonx membatasinya hanya pada tayangan fiksi dan komedi. Mengapa? Karena Fiksi (opera sabun, series, serial, dsb) dan Komedi (sketsa, sitkom, lawak, dsb) lebih mendominasi daftar tayangan televisi dengan penonton terbanyak. Data ini diambil dari survey majalah hiburan yang menyebutkan setiap minggu 7 dari 10 tayangan ber-rating tinggi adalah tayangan fiksi dan komedi. Well, kembali lagi ke 'cinta produk lokal' tadi, sebenarnya banyak tayangan lokal selama dua dekade terakhir ini yang layak disebut berkualitas, tapi yang berupa sampah jauh lebih banyak jumlahnya. Ini berbeda sekali dengan fenomena di Amrik. Tayangan televisi kini jauh lebih berbobot dari film-film layar lebar. Indikasi ini dilihat dari makin banyaknya bintang-bintang film yang biasanya gengsi bermain di televisi setelah sukses di layar lebar, kini banyak menyerbu serial teve yang naskahnya sangat berbobot
Revolusi pertelevisian kita baru dimulai tahun 1989 saat stasiun televisi swasta pertama lahir, RCTI. Sebelumnya generasi jadul hanya bisa menikmati TVRI sebagai satu-satunya stasiun teve. Era TVRI melahirkan tayangan legendaris semisal dr. Sartika, Losmen, Jendela Rumah Kita, Pondokan, Calon Suami, Rumah Masa Depan, dan lainnya sebagai tayangan fiksi yang ditayangkan hanya sebulan sekali. Di barisan komedi, tidak terlalu banyak, yang paling-paling Ria Jenaka dan Srimulat, sementara sketsa komedi yang sporadis sering diselipkan di acara-acara musik semisal Aneka Ria Safari, Kamera Ria, atau Selekta Pop. Pada saat itu bahkan trio Warkop pun tidak punya acara televisi. Karena cuma ada TVRI doang, makanya tayangan-tayangan itu Ithonx sebut legendaris, bukan berkualitas. Mengapa? Karena belum ada pembandingnya.
Memasuki awal dekade 90an -pada saat itu perfilman nasional diambang mati suri-, tayangan fiksi dan komedi memasuki babak baru. Para insan film seolah punya media aktualisasi baru yaitu SINEMA ELEKTRONIK alias Sinetron dengan beragam genre-nya yang hanya memberi label dibelakang, misalnya Sinetron komedi, sinetron laga, sinetron anak, sinetron keluarga, dan lain-lain. Sinetron langsung di jejali dengan para bintang-binta ng film dekade awal dan akhir 90an (Ithonx menyebutnya sebagai Gelombang I). Karena banyak dibintangi pemain film, kualitas akting maupun naskah sinetron benar-benar hebat. Gelombang I ini dihiasi oleh generasi Rano Karno, Lydia Kandau, Cok Simbara, Alex Komang, Meriam Bellina, Christin Hakim yang tak lama di meriahkan juga oleh Desi Ratnasari, Paramitha Rusady, Onky Alexander, Ayu Azhari dan lain-lain. Hingga pertengahan 90an pemirsa dimanjakan dengan akting-akting luar biasa bintang-bintang tersebut. Lahirlah sinetron-sinetron bermutu seperti Saat Memberi Saat Menerima, Ibu, Benang Biru, Janjiku, dan lain-lain. Di barisan komedi lahirlah genre (jiplakan) baru yaitu sitkom semacam Gara-Gara, Lika Liku Laki-Laki, Lenong Rumpi, Keluarga Van Danoe, dan sebagainya.
Gelombang II kemudian menyusul seiring makin meriahnya dunia persinetronan Indonesia dengan bintang-bintang baru yang tak kalah berbobot. Primus Yustisio, Dede Yusuf (makin produktif), Willy Dozan, Jeremy Thomas, Adam Jordan, Ari Wibowo, Elma Theana,. Genre sinetron juga makin beragam pada era ini. Sinetron Laga semacam Deru Debu dan Jalan Membara mempunyai banyak penggemar bahkan soundtrack Deru Debu yang dinyanyikan almarhumah Nike Ardila begitu melegenda. Komedi horror juga di meriahkan oleh Kiki Fatmala dan Diah Permatasari di Si Manis Jembatan Ancol, sementara sitkom-sitkom yang telah ada sebelumnya makin manahun. Ira Wibowo, Ria Irawan, Debbi Sahertian imejnya menjadi spesialis aktris komedi. Sementara komedian masih diisi oleh para pelawak (yang membedakan nanti dengan bintang sinetron komedi). Genre Sitkom kemudian juga mengawinkan pelawak dengan bintang sinetron pria rupawan semisal Pin Pin Bo yang dibintangi Izur Muchtar (pelawak) dan Jeremy Thomas dan sebagainya.
Serbuan bintang-bintang Gelombang III disusul munculnya stasiun-stasiun teve swasta lainnya makin merajalela. Anjasmara, Primus, Jihan Fahira, Nafa Urbach, Diana Pungki, Marcellino, Marcellino Lefrand, Dini Aminarti, Rizal Djibran, Syahrul Gunawan, Kris Dayanti, Indra Bruggman, Tamara Blezinsky, dan generasi Gelombang I dan II membangun sebuah era keemasan sinetron. Bersama Moudy Kusnaedy, Cornelia Agatha dan para pelawak, Rano Karno menghasilkan lima musim legendaris Si Doel Anak Sekolahan. Primus dan Deasy Ratnasary bertaji di Cinta. Paramitha Rusady, Primus dan Atalarik sukses di adaptasi karmila. Marcelino dan Rizal Dzibran beken di Misteri Gunung Merapi (ingat juga Faridha Pasha sebagai Mak Lampir ya), Tamara dan Anjasmara sukses besar di Wah Cantinya (itu loh, si idiot Cecep), Indra Bruggman imejnya melekat sebagai pasangan si Jin cantik dengan Diana Pungky di Jinny oh Jinny, Syahrul Gunawan di Jin dan Jun. Kris Dayanti melejit dengan sinetron Ramadahan-nya (yang kemudian menjadi tren) Doa Membawa Berkah. Jihan fahira dan Lulu Tobing bergiliran mendampingi Adam Jordan, Reynold Surbakti dan Ari Wibowo di tujuh musim Tersanjung.
Genre komedi kemudian menjadi abu-abu ketika Si Doel ANak Sekolahan sukses besar. Di khususkan sebagai drama, sinetron ini malah banyak bermuatan komedi yang kocak namun bersehaja. Dekade 90 an dan awal 2000an melahirkan sinetron-sinetron berkualitas yang sangat banyak, selain Si Doel tentunya. Ayu Azhary dan Cok Simbara dipuji karena akting menawan di Noktah Merah Perkawinan, Rachel Maryam sangat pas di Strawberry (sinetron terpuji FPB), Lorong Waktu karya Dedy Mizwar juga sangat berkualitas walau bermuatan komedi. Kris Dayanti dan Ayu Azhary bermain hebat di Istri Pilihan. Anjasmara menghebohkan dan hebat di Wah Cantiknya..! Keluarga Cemara garapan Arswendo Atmowiloto bener-benar luar biasa. Hikayat Cinta yang tayang larut, dimainkan Cyndi Fatika Sari, Teuku Firmansyah dan Ferry Maryadi diakui sebagai genre sinetron remaja yang bener-bener realistis.
Pertengahan 2000an adalah era degradasi kejayaan sinetron berkualitas di pertelevisian Indonesia. penyebabnya antara lain:
1. Membanjirnya tayangan non sinetron seperti musik, reality show dan infotainment, walau sinetron masih bertengger di jam tayang utama.
2. Berubahnya pola tayang menjadi stripping. Pada era 90an dan awal 200an semua tayangan sinetron baik drama maupun komedi seminggu sekali sehingga penulis naskah kerepotan membuat naskah yang baik. Sehingga sinetron sekarang sangat terkesan asal buat.
3. Bintang-bintang sinetron masa kini terkesan asal comot. Bandingkan dengan kualitas bintang-bintang Gelombang I dan II yang kualitasnya tidak diragukan.
4. Sedikitnya penulis naskah sinetron yang berbobot sehingga tim penulis hanya mencomot atau menjiplak sinetron korea atau india atau telenovela
5. Enggannya produser mengeluarkan biaya besar demi kualitas yang baik. Bandingkan dengan sinetron laga pada era Willy Dozan, Marcellino Lefrandt dan Dede Yusuf. Keadaan ini ditambah dengan selera pasar. Produser berdalih bahwa selera pasarlah yang menciptakan trend, namun di Amrik ternyata penulis cerita dan produser lah yang menciptakan trend (contohnya Glee).
6. Sinetron, entah kenapa, berasosiasi dengan tayangan khusus perempuan padahal kata sinetron berasal dari Sinema Elektronik. Di Amrik sinetron yang khusus dibuat untuk konsumsi perempuan di sebut soap opera atau opera sabun, dan jumlahnya hanya 10 persen dari jumlah genre semua sinetron. Ini kemudian yang menjadikan pria-pria di Indonesia malu jika dibilang pencinta sinetron
Lalu bagaimana dengan sinetron dekade awal 2000an hingga sekarang?
Beberapa sinetron adaptasi dari film-film terkenal sempat marak semisal Ada Apa dengan Cinta, Lupus (Agnes Monica dan Irgy Ahmad), Mendadak Dangdut (masih baru), Catatan Si Boy, Get Married, My Heart, dan lain-lain.
Pertengahan dekade 2000an di kuasai oleh bintang-bintang muda yang aktingnya sangat pas-pasan (bahkan ada yang terkesan asal-asalan) misalnya Dude Herlino, Naysilla Mirdad, Shereen Sungkar, Teuku Wisnu, Marshanda, Baim Wong, Nikita Willy, Nia RhamadaniVelove Fexia, dan lainnnya berpredikat bintang-bintang mahal namun aktingnya sangat tidak memuaskan, sementara bintang-bintang berbakat seperti Nirina Zubir, Revalina, Agus Ringgo, Tora Sudiro, Luna Maya, Marcella Zailanti, Julie Estelle, Dian Sastro, Dina Ollivia, dan sedikit lainnya yang beberapanya mengawali karir di dunia sinetron terkesan frustasi dan hijrah kedunia film (fenemona terbalik ketika awal 90an).
Menyebut sinetron (dengan definisi sempit akhir-akhir ini) berkualitas memang agak susah saat ini, kecuali sinetron ber-rating tinggi. Penonton tidak lagi merasa menunggu-nunggu dan dirasuki rasa penasaran untuk melihat kelanjutannya. Diantara sedikit itu bisalah kita menyebut yang berkualitas adalah Bajaj Bajuri, Para Pencari Tuhan, dan hmmm apalagi ya (sumbang dong). Dengan berat hati Ithonx tidak memasukkan sinetron-sinetronnya Naysilla Mirdad kayak Cahaya dan Intan walau ber-rating tinggi lantaran ceritanya yang standar dan mengulang cerita-cerita yang sudah ada di tahun 90an. Bagaimana dengan Cinta Fitri? Sinetron yang konon digemari oleh B.J Habibie ini juga tidak menawarkan hal-hal baru dan masih seputar dengki dan perebutan pasangan. RCTI dan SCTV masih menempati urutan teratas sebagai stasiun teve yang tetap konsisten menayangkan sinetron harian yang kualitasnya sangat jeblok.
Lalu bagaimana dengan genre komedi? Makin sedikitnya jumlah sitkom membuat kata sitkom sendiri menjadi asing ditelinga. Kita disodori dengan OB, Suami-Suami Takut Istri, Kejar Tayang, The Coffe Bean Show, Bujangan, De Neni dan sedikit lainnya yang cukup menghibur. Karena komedi lebih cenderung soal selera, maka sangat susah menentukan mana yang berkualitas. Paling tidak genre ini belum mati. Sementara sitkom mengalami degredasi dalam hal jumlah, komedi berbentuk sketsa makin menjamur. Extravaganza (adaptasi Saturday Night Live) menjadi pionir sketsa komedi modern. (namun ingat, Srimulat adalah nenek moyang-nya). Sketsa komedi yang ber-rating tinggi saat ini mungkin Opera Van Java, walau diantarannya ada Tawa Sutra, Sketsa Minggu, dan sebagainya.
Sementara pesinetronan Amrik sedang berada dipuncak kualitas dan kuantitas, sinetron Indonesia mengalami degradasi super hebat. Sinetron sama dengan (=) Perempuan, begitu pikir orang, lantaran tema-tema sinetron sangat tidak beragam dan dikhususkan buat perempuan (baik karakter utama maupun plot), padahal, sekali lagi, sinetron adalah SINEMA ELEKTRONIK.
Kita merindukan sinetron lintas gender seperti Si Doel Anak Sekolahan dan Keluarga Cemara, sinetron laga pada era Willy Dozan dan Dede Yusuf, sinetron tanpa tokoh antagonis seperti Noktah Merah Perkawinan, sinetron komedi lucu Bajaj Bajuri, pokoknya sinetron yang bisa dinikmati tanpa mengkotak-kotakan jenis kelamin.
Kira-kira pada dekade kapan ya degradasi itu pulih??
Anton Ithonx (berdasarkan survey, pengamatan dan analisa pribadi)
0 comments:
Post a Comment