Memasuki musim kedua, BONES masih sangat enak untuk dinikmati episode demi episode. Tak seperti serial bernafas police procedural lainnya, BONES memberi porsi besar berkembangnya interpersonal plot dibanding misalnya CSI dan NCIS dan spin off-nya. Di sela-sela menangani kasus yang rumit, hubungan (kalau bisa di bilang) cinta terpendam antara Bones dan Booth terus di ketengahkan dengan sangat dinamis.
Latar belakang Booth sedikit dikuak. Mantan pacar dan anak laki-lakinya sedikit memberi bumbu dan penggalian karakter yang sangat berarti bagi karakter sentral ini. Demikian pula dengan Bones atau Temperance, munculnya ayah dan kakak laki-lakinya menguak juga rahasia besar masa lalu dan keluarganya. Munculnya tokoh Sullivan (dipanggil Sully) yang menggantikan Booth sementara dirinya harus menjalani terapi juga memberi ritme drama percintaan yang sangat enak diikuti.
Para Squints (demikian Booth memanggil anggota team Bones) juga ikut memeriah kan jalan cerita yang makin tidak membosankan. Zach dengan kalimat-kalimat dan ide jeniusnya tetap memberi warna dan kerap membuat penonton tersenyum oleh ulahnya. Hodgins dan Angela mulai merajut benang asmara dan di akhir musim memutuskan untuk menikah namun......
Highlight di musim ini adalah hadirnya tokoh Camille Saroyan. Bos baru di Jeffersonian Institute ini awalnya sangat sulit beradaptasi dengan ritme kerja para anggota tim Bones, bahkan sering bersilang pendapat dengan Bones. Apalagi Camille pernah menjalin hubungan dengan Booth. Perlahan, Dr. Camille Saroyan mampu beradaptasi dengan baik lantaran sifatnya lebih mirip Angela ketimbang Bones yang kurang interpersonal skill.
Akhir musim ditutup dengan sangat cantik. Bones dan Booth berdiri di altarr; siap menikah, nah loh? Dan Zach si bocah S3 jenius ingin meninggalkan Amerika. Wah..
>>Ithonx<<
0 comments:
Post a Comment