Saat itu aku masih di kelas 2 SMA. Sekolahku punya program hebat, siswa yang akan memasuki tahun ketiga harus tinggal selama dua bulan dengan penduduk desa, merasakan menjadi bagian keluarga yang ditumpangi, dan mengerjakan semua chores yg biasa mereka kerjakan sehari-hari. Memang, mirip dengan program
reality show yang ada di teve (mungkin yg buat program itu lulusan sekolahku, he..he). Jadi, aku dan lima temanku ditempatkan sebuah desa yg berada di sebuah kaki gunung. Rumah yg kami tumpangi adalah rumah kepala dusun yang lumayan kaya. Sementara teman-teman lain tinggal di rumah penduduk yang sederhana yang terkadang tak punya kamar mandi, aku tinggal di rumah yang besar dan bisa menikmati tayangan MTV. Wow. Si kepala dusun punya dua anak perempuan, satu masih SD, satunya duduk di SMP kelas 3 saat itu.
Mungkin sudah bisa ditebak, karena terlalu sering ngobrol dan bercanda denganku si anak SMP ini mulai menyukai aku dengan cara yang berbeda. Di sinilah cinta monyetku terjadi (lagi). Dan ada pengalaman aneh saat menjelang hari-hari terakhirku disana. Sore hari saat diberitahu bahwa dua hari lagi akan pulang ke asrama sekolah, aku dan Dia bergegas ke kebun alpokat yang sudah habis musimnya. Memang salahku sih, teman-teman lain sudah membeli buah untuk oleh-oleh itu jauh-jauh hari karena takut musimnya akan segera berakhir, namun aku tak peduli. Kebun alpokat punya pamannya kami telusuri dan tak satupun buah yang masih tergantung di pohon, aku benar-benar kecewa. Kami kemudian, hanya berdua, menelusuri sungai kecil dan duduk di pinggirnya sambil bercanda. Tak lama kami berjalan kembali, menyusuri jalan yang akan menuju rumahnya dengan dua keranjang kosong melompong hingga tanpa sengaja melihat sebuah pohon alpokat, satu-satunya, yg masih berbuah banyak. Kami saling pandang tidak percaya, kemudian berlari kegirangan menghampiri pohon tersebut. Buahnya sangat tinggi walaupun lebat. Sambil berpikir untuk memanjat atau tidak, kami duduk dibawahnya, hingga entah dari mana tiba-tiba angin bertiup kencang dan semua (mungkin tidak semua) buah jatuh. Aku segera memunguti dan dua keranjang yang kami bawa seketika menjadi penuh.
Mungkin ini kejadian biasa, tapi aku menganggap itu sebuah keajaiban. Bayangkan, hanya ada satu pohon tersisa dengan banyak buah, dan tiba-tiba jatuh karena angin kencang. Lalu kami pulang ke rumah, mungkin butuh 45 menit berjalan dari rumah ke kebun. Di tengah perjalanan hujan deras dan kami tetap berjalan, sehingga ketika memasuki desa, teman-teman banyak yang menyoraki kami. Sesampai dirumahnya aku langsung diberi tahu kalau kami akan pulang ke asrama sekolah malam itu juga, bukan dua hari lagi seperti yang direncanakan. Aku melihat kesedihan di matanya. Dia terus bilang untuk jangan lupa mengirim surat dan aku terus meng-iyakan, kemudian Dia mengurung diri di kamarnya. Hingga malam perpisahan di gelar, aku tidak melihat dirinya, sang ibu hanya bilang padaku bahwa dia terlalu sedih untuk datang, dan memberiku amplop berisi fotonya. Dan ketika bis akhirnya meninggalkan desa, aku bahkan tak melihat wajahnya diantara penduduk lain yang mengantar kami. Aku sangat sedih. Dan sejak saat itu aku tak pernah melihatnya lagi. Hingga sekarang.
What happened in Pagar Alam, happened in Pagar Alam.
Dan bulan Pebruari lalu, seorang teman secara tiba-tiba mengirimi aku sms berbunyi “hey, wanna join us to Pagar Alam?” Aku berpikir sejenak sebelum menjawabnya. Memang besoknya akan libur panjang akhir pekan tapi yg aku bayangkan adalah lamanya perjalanan. Akhirnya aku mengiyakan, lagipula teman yang mengajak ini bukan berasal dari Indonesia, jadi hitung-hitung punya pengalaman baru dengan mereka.
Akhirnya keesokan harinya kami berangkat dengan mobil travel. Ah, Pagar Alam, mungkin ini kali pertama aku datang lagi kesana setelah hampir 10 tahun. Aku tak tahu apa yang aku harapkan. Tentu saja semua sudah sangat berbeda, dan aku tahu aku akan melewati desa yang dulu memberiku pengalaman indah. Sepanjang perjalanan dengan ketiga teman tersebut kami isi dengan obrolan-obrolan lintas budaya, dan ketika semua orang kehabisan subjek pembicaraan maka yang dikerjakan adalah memejamkan mata mencoba tidur sambil berharap segera sampai. Dan imajinasiku pun bermain. Aku mulai menelusuri masa-masa SMA dulu. Sesekali aku bertanya dalam hati, apa dia masih di desa itu? Apa dia masih ingat dengan aku? Bagaimana wajahnya sekarang? Atau jangan-jangan dia sudah punya anak banyak dan tidak mengenaliku lagi? Benar-benar konyol. Tentu saja dia tidak mengenaliku karena sudah lebih dari sepuluh tahun lalu dan dia masih SMP saat itu, itupun kalau benar-benar ketemu. Konyolnya, sebelum berangkat aku sempat membuka dan melihat foto nya yang dulu ia beri lewat ibunya di malam ketika aku kembali ke asrama sekolah. Sempat juga aku menghayal jika tanpa sengaja kami bertemu di sebuah tempat dan saling jatuh cinta lagi seperti di film-film romantis. Ha..ha..ha.
Akhirnya menjelang ashar, kami sampai di kota Pagar Alam dan menemukan hotel yang awalnya kami pikir cocok untuk ditempati. Kota ini sudah benar-benar berubah. Hotel sudah sangat banyak di sana. Kami tidak menginap di hotel malam itu karena ada orang yang menawari untuk tinggal di rumahnya. Memang rumahnya kecil dan sempit, tapi tidak apalah karena ini pengalaman baru, apalagi buat si orang
Amrik dan London itu. Biar mereka merasakan menjadi orang Indonesia. Mungkin karena sangat jarang orang-orang berkulit putih berkunjung ke kota ini, jadi tiap kali teman-temanku ini berjalan, mereka melihat, menatap dan terkadang mengambil foto mereka. Wajar bagi kita, namun menyebalkan bagi mereka. Hari pertama kami menelusuri air terjun terdekat. Terlalu biasa. Kemudian kami mencari hotel atau villa di sekitar perkebunan teh. Juga biasa saja. Aneh, aku tidak merasakan kekaguman seperti dulu. Mungkin karena dulu masih remaja dan tempat-tempat wisata belum banyak aku kunjungi jadi belum ada pembanding. Dan dibenakku selalu terbesit keinginan untuk mengunjungi desa si cewek “SMP” itu.
Kegiatan yang kami lakukan di perkebunan teh melindas hasrat terpendamku itu. Mengasyikan, mendengar cerita mereka masing-masing tentang negara-negara yang pernah mereka kunjungi, budaya mereka atau cara berpikir mereka jauh lebih menarik ketimbang jeprat-jepret mengambil foto kebun teh yang terlihat biasa saja. Bayangkan, di kaki gunung, di balkon sebuah villa, aku menerima pelajaran tentang perbedaan bahasa inggris amrik dan british. Tentu ini jauh lebih berharga daripada menerimanya dengan membaca buku atau seorang guru di sekolah yang memberi tahu.
Ketika turun menelusuri pabrik teh, ingatanku semakin jelas. Tentu saja, pabrik ini sepuluh tahun lalu masih seperti ini. Aku melihat jalan setapak menuju desa itu. Rasanya aku ingin segera berlari menyusuri jalan sempit itu, tapi ku urungkan niatku. Sebaiknya yang terjadi satu dekade lalu tetap menjadi kenangan indah saja. Ini bukan film atau roman picisan yang sering aku kritik ketika menulis review-nya.
Hingga akhirnya aku sampai kembali ke kota ku, aku hanya bisa menghayalkan saja pertemuanku dengan dia. Pagar Alam tidak memberiku kesan apa-apa. Hambar. Kemegahan gunung, hamparan perkebunan atau dinginnya udara tidak membuatku begitu terpesona. Bahkan beberapa kekacauan karena ‘sangat Indonesia’nya sikap penduduk terhadap bule membuatku gerah dan jengkel. Satu-satunya yang ku nikmati adalah obrolan-obrolan yang terjadi dengan teman-teman yang menyertaiku liburan itu.
Dan aku tidak akan pernah punya rencana lagi untuk ke Pagar Alam. Bukan, bukan karena Pagar Alam tidak indah dan mempesona, tapi karena kota itu tidak punya lagi hal-hal yang membuat aku tertegun kagum seperti yang aku rasakan dulu.