Universal

Universal
Me and films

Silahkan Cari

Saturday, 29 October 2011

TERMINATOR: THE SARAH CONNOR CHRONICLES >>> Seru di Awal, Melempem Di Akhir


Bagi penggemar film Terminator dan seque-sequealnya, tidak menonton serial ini tidaklah apa-apa. Serial dua musim ini tak memberi pengalaman menonton yang sangat luar biasa. Pertama, dimaklumi saja kalau ini hanyalah serial teve dengan bujet terbatas (dibandin filmnya), dan kedua film ini menitikberatkan pada dramalurgi dengan bumbu eksyen sedikit dan lebih menggali sisi psikologis ibu John Connor, Sarah Connor.

Yang belum pernah menonton seluruh seri Terminator (what??) di jamin bakal kesulitan mencerna jalan cerita nampak tidak ada juntrungan.

Males ah ngomongin plot. Ngomongin artisnya ajalah. John Connor diperankan Thomas Dekker yang setelah serial ini (di) tamat (kan) bermain di beberapa film yang kurang box office. THomas memang agak mirip dengan Nick Stahl yang memarankan John Connor versi film. Namun Thomas punya wajah lebih kalem dan tampan. Aktingnya tak bisa dibilang luar biasa. Standar lah. Tak ada lonjakan emosi maupun pergulatan batin luar biasa pada karakter ini sehingga semua hal tampak begitu lempeng tanpa kejutan bagi si John.

Lena Headey kebagian peran sentral di sini. Sebagai Sarah Connor, sang ibu. Aktingnya memang bagus, tapi tak terlalu mengundang simpati mendalam bagi penonton.

Hadirnya Brian Austin Green sebagai Derek, paman John lumayan menyegarkan di beberapa episode, namun makin mendekati akhir, karakter ini tak memberi banyak kontribusi terhadap plot yang sebenarnya sudah bagus, namun terlalu dipanjang-panjangkan.

Yang cukup mengesankan adalah para mesin yang cukup baik dimainkan aktor-aktor yang sudah akrab di mata pecinta serial teve. Shirley Mansion, vokaliis band Inggris Garbage yang eksentrik itu kebagian peran yang ngepas dengan dirinya: Cairan Metal yang menyamar sebagai Katherine Weaver. Tak kalah bagusnya adalah Garret Dillahunt pada saat memarankan John Henry. Dan Summer Glau yg berperan sebagai si mesin cantik Cameron.

Serial ini memang bagus di awal musim. Episode pertamanya saja banyak dipuji-puji kritikus, namun makin lama cerita terasa garing dan tak ada lonjakan plot yang membuat kita betah untuk berlama-lama mendengarkan dialog-dialog yang terkadang terlalu biasa dan tak cerdas. Tapi tetap saja serial ini layak tonton.

>>Ithonx<<

Wednesday, 19 October 2011

CAPTAIN AMERICA: FIRST AVENGER >>> Gak Sabar Nunggu THE AVANGERS

Gempuran film2 superhero di tahun 2011 memang dahsyat. Satu yang mencuri perhatian dan berhasil meraup banyak uang adalah sosok superhero Marvel yang ternyata memang sangat enak untuk dinikmati. BIntang utama-nya Chris Evans memang sudah pernah melakoni peran superhero dalam Fantastic Four, namun nampaknya peran Captain America inilah yang mengangkat nama Evans ke level lebih tinggi. Uniknya, media terutama internet banyak membahas perubahan tubuh Evans yang luar biasa dan gambar-gambarnya tanpa kaos yang menunjukkan otot dada-nya menjadi promosi hebat, padahal gambar itulah satu-satunya adegan Chris Evans bertelanjang dada dalam film ini. Memang, perubahan tubuh Evans yang luar biasa banyak menginspirasi para pria yang ingin membentuk otot, tapi sebenarnya tak lebih istimewa dari apa yang dilakukan Taylor Lautner kan?




Oke, di dalam filmnya Evans yang memerankan Steve Rogers digambarkan kurus ceking namun bercita-cita luhur untuk menjadi seorang tentara yang membela negaranya dalam memerangi Nazi. Tentu saja yang ada di layar bukan tubuh Evans sebenarnya. Kepalanya sih iya, namun tubuhnya tentu saja hasil CGI. Banyak yang menganggap CGI-nya sangat sempurna, namun bagi Ithonx terasa aneh lantaran kepala Evans terlihat begitu besar. Tapi untunglah kita tak perlu berlama-lama melihat Chris Evans eh Steve Rogers yang kurus dan pendek. Dengan bantuan serum ajaib, Steve Rogers berubah menjadi Captain America yang sempurna.

Cerita kemudian mengalir standar. Kisah cinta dan persahabatan menjadi bumbu yang mengantar ke plot utama yaitu memerangi villain. Tak ada lonjakan emosi yang berarti layaknya saat kita menonton Spiderman-nya Tobey McGuire. atau Batman-nya Christian Bale. Tak juga saat Rogers kehilangan sobat kentalnya, Bucky. Tapi tak apalah, mungkin superhero yang satu ini memang dibuat dengan tone yang berbeda.

Kita juga harus jeli saat di awal cerita kita disodori prolog yang nantinya mengantar penonton ke ending-nya. Sesuai judulnya: The First Avangers, maka kita harus maklum jika film ini hanya 'sekedar' mengenalkan siapa itu Captain America. Yang sudah menonton Thor, maka bersiaplah nanti kehadiran Thor, Captain America, Hulk, Iron Man, dan lain-lain dalam satu film superhero paling ditunggu: The Avangers. Ah, gak sabar.

>>Ithonx<<

Sunday, 16 October 2011

DON'T BE AFRAID OF THE DARK >>> Monster of The Toy Soldiers

Baru disodori film rumah berhantu di Insidious, jadi maklum saja jika harus membanding-bandingkan film ini dengan film setan-setanan tersebut. Film ini memang patut ditunggu apalagi dengan menjual nama Guilermo Del Toro yang makin mantap dengan karya-karya horor yang cerdas. Bagi Ithonx, Shyamalan, Del Torro, Craven adalah jaminan buat horror bermutu tanpa ceceran darah terlalu berlebihan. Del Torro memang tak duduk di kursi sutradara, hanya menulis naskahnya saja, namun tetap saja nama besar yang terpampang di poster sangat menjual.

Balik lagi ke perbandingan film ini dengan Insidious. Banyak kesamaannya memang: Rumah berhantu, pasangan muda, dan anak kecil yang diteror menjadi klise jika saja tidak di olah dengan baik.

Don't be afraid of the dark di buka dengan adegan mendebarkan seorang bapak tua yang mencongkel gigi pelayannya demi mempersembahkan gigi-gigi tersebut agar sang anak kembali padanya. Namun yang terjadi adalah sang bapak tersebut terseret kedalam "alam" lain yang ada di basement rumah super besar-nya tersebut. Ithonx pribadi menilai adegan ini merupakan spoiler. Lebih enak jika cerita ini di buat jadi flashback saja.

Scene kemudian berganti dengan cerita Alex dan Kim yang menjemput bocah cantik bernama Sally dari bandara. Diketahui kemudian bahwa Sally adalah putri Alex yang dikirim sang istri, bercerai dengan Alex, agar tinggal di rumah besar Alex. Sally nampaknya sulit menerima kenyataan bahwa ayah-ibu-nya bercerai, apalagi sang ayah sudah akan menikah dengan Kim.

Konflik klise antar ayah-putri-calon ibu tiri bergulir klise. Untungnya tak dibuat berlarut-larut lantaran Sally menemukan jendela basement dirumah baru mereka. Jelas dengan mudah kita bisa menebak bahwa rumah baru Alex dan Kim adalah rumah yang sama yang dtinggali bapak tua yang bernasib malang di awal cerita.

Dengan insting ingin tahu yang berlebihan, Sally tanpa sengaja melepas makhluk-makhluk imut takut cahaya mengerikan yang menginginkan gigi-gigi dan nyawanya. Selebihnya cerita bergulir dengan pakem yang sangat-sangat klise. Yup, bocah yang sering berulah tak dipercaya saat apa yang ia ceritakan adalah kenyataan. Sang bocah mencari bukti namun tak digubris hingga akhirnya teror datang dan semuanya terlambat....

Semua misteri, dongeng, dan teror terkuak di menit-menit terakhir hingga menuju akhir yang lumayan bikin miris. Keseluruhan cerita memang tak bisa disebut gemilang, namun tetap saja klimaks yang baik, cerita yang tak bertele-tele dan keingin-tahuan penonton akan ending-nya menjadi nilai bagus untuk film ini.

Rasa-rasanya sepanjang menyaksikan film ini kita diingatkan film-film tentang makhluk2 imut bengis semacam The Gremlins, Toy Soldiers, atau beberapa episode The Twilight Zone. Tapi tak apalah, cerita yang tak orisinil ini mampu dikembangkan dengan baik kok.

Katie Holmes bermain sangat datar disini. Mungkin karena naskah tak memberi banyak ruang untuk karakternya berkembang, namun ending film ini akan membuat kita terus mengenang karakter Kim yang ia mainkan. Sama halnya dengan Guy Pierce. Aktor tampan kawakan ini kurang mengena memerankan sosok bapak. Bandingkan dengan pasangan Patrick Wilson dan Rose Byrne di Insidious yang sangat tertekan secara psikologis.

Akhirnya tumpuan film ini hanyalah akting si bocah Bailee Madison yang memerankan Sally. Memang Bailee bukanlah Dakota Fanning yang brilian itu. Namun aktingnya cukup menggigit. Mungkin karena jam terbangnya diserial teve lumayan tinggi ya.

Secara keseluruhan, Don't be afraid of the dark tak memberi 'ketakutan' yang hebat bahkan terasa biasa tanpa cita rasa horor yang kental. Tapi sebagai tontonan sekali tonton, lumayanlah...

>>Ithonx<<