Universal

Universal
Me and films

Silahkan Cari

Wednesday 30 June 2010

THE CRAZIES >> Memang Gila..!




Rada Mitchell memang sudah fasih dengan genre horror. Terakhir yang Ithonx ingat dia bermain di Rogue dengan Micheal Vartan dan Silent Hill (adaptasi game). Selain getol juga di genre drama, akting Rada bisa dibilang biasa-biasa saja, namun uniknya tidak pernah mengecewakan. Sementara Timothy Olyphant memang punya tampang tidak charming dan boyish layaknya Channing Tatum dan Chris Pine, namun ini malah memberi keuntungan baginya karena ia bisa berperan sebagai orang tengil (ingat si hacker di Die Hard 4?) dan peran baik2 sebagai sherif di film ini.

Film remake ini tidak menawarkan sesuatu yang berbeda sebenarnya. Premisnya mirip dengan film-nya Chris Pine 'Carrier'. Sebuah kota kecil tiba-tiba di hebohkan oleh beberapa warganya yang mendadak gila dan mempunyai nafsu untuk membunuh. Sherif dan deputynya kemudian menyelidiki penyebabnya. Yang mereka temukan adalah bahwa sumber air kota itu tercemar lantaran kapal kargo rahasia militer yang membawa bahan radioaktif jatuh dan mencemari seluruh sungai kecil. Belum sempat terkuak, tau-tau kota sudah di karantina dan semua penduduk di evakuasi. Semua berjalan begitu cepat. Semua penduduk diseleksi mana yang terjangkit dan mana yang belum berdasarkan suhu tubuh, yang terjangkit harus di musnahkan. Gawatnya, sang istri si Sherif yang lagi hamil memang terkena demam. Sherif bisa lolos, tapi demi menyelamatkan sang istri yang seorang dokter, ia harus kembali ke kota yang awalnya sangat tentram sekarang malah kacau balau dan penduduknya saling bunuh, belum lagi para militer yang terus menyisir setiap jengkal kota dan diperintahkan untuk membunuh siapa saja yang ditemukan tanpa tau terjangkit atau belum.

Bersama si deputy dan seorang gadis remaja, sherif dan sang istri harus menyusuri kota mencari kendaraan untuk segera meninggalkan kota lantaran dalam beberapa jam kota tersebut akan dimusnahkan dengan nuklir. Petualangan hidup mati inilah yang mewarnai sepanjang film.

Tidak masuk dalam kategori istimewa, namun film ini tetap bisa memberi efek jump scare yang efektif jika ditonton dengan sound system yang gede. Cerita yang tidak njelimet tidak memberi penonton ruang untuk main tebak-tebakan. Semua tampak klise namun tetap enak ditonton kok. Tidak ada yang bermain begitu cemerlang disini, namun tidak membuat film ini masuk kategori buruk. Pokoknya enak ditonton. Nilainya 7,5/10 aja yaa.


Sunday 27 June 2010

NEW MELROSE PLACE***New Intrigues? I don't think so...!


NEW MELROSE PLACE>>>>Era 90an dan awal 2000an adalah masa ke-emasan tayangan hollywood di pertelevisian nasional kita. Bahkan pada masa itu byk bioskop gulung tikar, belum lagi beragam serial tv yg menyesaki setiap jam tayang utama dan acara klip2 musik keren. Byk ulama saat itu menyarankan agar impor tayangan2 barat dikurangi, dan ternyata berhasil. Hasilnya, tv2 nasional disesaki sinetron tidak mendidik, musik2 kacangan, reality show yg menipu, berita2 bombastis, komedi anarkis (ha..ha, liat OVJ), infotainment gak penting, talk show gak karuan, dan parahnya stripping alias tiap hari.

Hadirnya tayangan impor 2 dekade lalu hrs diakui adalah exposure jitu bagi yg ingin belajar bhs inggris, bahkan ada guyonan "gak perlu kursus, yg penting nonton tayangan amrik saja, psti bisa cas cis cus".

Saat itu, semua tayangan serial ditayangkan perminggu tiap episode, tapi asyiknya tiap hari selalu ada serial laen sehingga tidak terlalu ditunggu. Ini tentu saja memberi keleluasan penulis cerita agar cerita tdk kendor kualitasnya, beda kan dg sinetron kita??

Di barisan soap opera, dekade 90an melahirkan Beverly Hills 90210 yang fenomenal, dan spin off-nya Melrose Place yg tidak kalah hebohnya. Tahun lalu demam remake serial2 lama melanda Hollywood, seolah membangkitkan lagi kejayaan dua opera sabun besutan Darren Starr (yg jg membidani Sex and The City) tsb. Hasilnya: penggemar lama menyukai, penonton baru ikut gandrung.

Jika 90210 berkisar soal remaja2 SMA dan polemiknya, maka Melrose Place menyoroti young adults alias thirty-something yang mulai berkarir beserta problematika di sebuah komplek apartemen sederhana.

Melrose versi 90an sebenarnya tidak memberi formula baru pada opera sabun modern, bahkan harus diakui terkadang ceritanya terlalu mengada-ada. Semua pemain tidak ada yang bertampang jelek,mungkin yg membuatnya istimewa adalah semua karakternya dibuat abu2 sehingga sulit memisahkan mana protagonis mana antagonis. Ceritanya pun hanya seputar rebutan pasangan, perselingkuhan, manipulasi, dan dibumbui adegan2 kiss disana-sini. Ketika di tayangkan SCTV hingga selesai pun hrs ditayangkan lepas jam 10 malam, namun rating-nya sangat tinggi sehingga krna byknya iklan, tayangan 45 menit kadang jadi 1 setengah jam. Makanya SCTV rajin menayangkan Melrose Place dari awal hingga selesai selama 7 tahun. Saat itu Ithonx memasuki tahun2 awal di SMA saat Melrose Place Season 1 mulai tayang (Ha..ha masih SMA sdh nonton MP)

Penggemar Melrose Place 90an akan merasa ini adalah lanjutan cerita sebelumnya, sedangkan penonton baru tidak perlu kuatir tidak tahu jalan ceritanya karena flashback akan terus ada setiap episode. Karakter Sydney yang tewas pada versi lama di ceritakan hanya pura2 saja dan memalsukan kematiannya dg bantuan mantan iparnya dr. Micheal Mancini (Thomas Calabro), Sydney membeli komplek apartemen 1404 dimana semua penghuninya adalah pemeran utama cerita ini. Salah satu-nya adalah David yg ternyata anak kandung Micheal yg di versi lama adalah salah satu penghuni komplek ini. Suatu ketika Sydney di ketemukan tewas (kali ini tewas beneran) di kolam renang, dan semua penghuni layak dicurigai menjadi pembunuhnya dengan bantuan adegan2 flshback, dan dari sinilah cerita bergulir. Beberapa karakter baru akan mengingatkan penonton lama dengan karakter2 Melrose versi 90an seperti pasangan Billy dan Allyson, Jo dan Jake, Micheal dan Jane, atau si gay Matt.

Kejutan hebatnya adalah Heather Locklear si pemeran Amanda Wayword si biang kerok di versi lama akan hadir lagi, Daphne Zuniga si pemeran Jo akan jadi bintang tamu. Di kabarkan Grant Show pemeran Jake juga bersedia bermain lain. Andrew Shue dan Courtney Thorne Smith si pemeran Billy dan Alisson jg sdh bersedia di kontrak. Sementara pemain2 laen jg sedang di lobby sprti Jossie Bisset (Jane) dan Allysa Milano. Dan masalahnya sekarang, para pemain baru yg kebat-kebit, jika pemain lama ikut bermain semua dan terbukti aktig mereka sdh pernah membuat penggemar senang, maka serial ini tidak butuh mereka....

Jika ingin bernostalgia, maka New Melrose Place harus ditonton (4cd, dan tdk ada tanda2 stasiun tv kita akan menayangkannya), dan jika kalian menyukai tontotan soap opera yg disesaki wajah2 cantik dan tampan and plenty of kissing scenes, inilah pilihannya. Personally, Ithonx merasa versi lama belum tertandingi karena hebatnya chemistry pemain2nya, tapi versi baru lumayan hip dan urban dengan theme songs yg catchy dan familiar, overall nilainya 7/10.

THE LOST ROOM: A SIX-EPISODES MINI SERIES


>>>You have to only guess what is coming next, and when it comes, something else is brought into the fold which skews or distorts what you first believed.So far the sophisticated viewer's collective intelligence has not been insulted or compromised<<<<<>

Mungkin idenya nyontek Pintu Ajaib-nya Doraemon, tapi percayalah...intelejensia penonton tidak bakal diremehkan di serial pendek fiksi misteri ilmiah ini. Sederhana-nya begini: Jika kita punya kunci ajaib, kita bisa membuka pintu manapun, bahkan pintu rumah2n sekalipun, dan ketika kita buka, kita akan berada di sebuah kamar motel. Nah dari kamar motel inilah kita bisa berharap ketika kita membuka pintu, kita akan berada di tempat yg kita harapkan. Bukan itu saja, ternyata benda2 sederhana semacam sisir, tiket konser dll yg ada diruang motel itu punya kekuatan mistis ketika digunakan.

Tapi ternyata kamar motel yg konon tidak pernah ada itu menyimpan sejuta misteri. Jika kita masuk dan terkunci, kita bisa lenyap. Apesnya yg lenyap itu adalah putri lucu si tokoh utama cerita Joe Miller (diperankan Peter Krausse yg beken di Six Feet Under). Joe hrs mati2an mencari kunci ajaib dan membuka pintu demi pintu utk menemukan sang putri, belum lagi orang2 yg menginginkan kematiannya demi misteri kunci dan kamar motel itu

Sedikitnya episode membuat cerita sangat efektif dan tdk bertele-tele. Penonton dibuat berfikir keras dg logika dan misteri yg di paparkannya. Tentu saja, menonton fiksi ilmiah berarti menyetel otak kita ke "jika saja" mode on, kalau tdk kita tdk akan mampu bertualang ke dalamnya.

CARRIERS---Menakut-nakuti Dengan Cara Berbeda



FILM INI MENAKUTI KITA DENGAN CARA YG BERBEDA: Menakuti nurani kita dengan dilema moral. Sebenarnya agak susah mengkatagorikan film ini ke genre mana. Trailer dan poster-nya menggadang-gadangkan film ini sebagai horror. Ternyata tidak mengerikan sama sekali. Memang, film ini punya premis sama dengan Resiident Evil dan I am Legend. Tapi tidak ada Zombie dan darah muncrat di sini. Semuanya terasa mengalir lancar tanpa ada yang harus di tunggu.

Brian, Bobby, Danny dan Kate menyusuri state demi state mencari suatu tempat yg akan kita ketahui diakhir cerita. Kita dibawa ke suatu kesimpulan bahwa ada semacam virus yang menyerang manusia dan belum ada obatnya. Virus ini telah mengurangi populasi manusia. Kita diajak melihat road trip anak2 muda ini sekaligus mengenal karakter mereka sepanjang perjalanan yg mencekam dan kadang dilematis secara moral.

Beberapa adegan sangat menyentuh ketika tiap karakter harus mengambil keputusan sulit. Semua menjadi abu-abu ketika dihadapkan kenyataan bahwa semua orang ingin tetap hidup.

Jelas ini sebuah drama psikologis yang menuntut penonton untuk berempati dengan tiap karakter yang terlibat. Seperti dibilang tadi, tidak akan ada tubuh tercabik2, zombie atau darah berceceran. Film ini menakuti kita dengan cara yang berbeda : Menakuti nurani kita dengan dilema moral. Jangan mengharapkan action yg sangat luar biasa di film ini, tapi jika mengharapkan pendalaman karakter, cerita sederhana dg narasi cerdas, dan 'haunting effect' mendalam, film ini harus dicoba.

Chris Pine dengan cemerlang memperlihatkan ke "tengilan" aktingnya. Piper Perabo cukup berwarna, dan emily Vankamp lumayan juga. Lou Taylor (sbnrnya sgt tdk cocok jd adik Chris) lumayan membawa film ini ke tingkat yg menjanjikan. sementara pemeran pendukung (Ithonx cuma tau dia maen di CSI) yg sedikit lumayan efektif, si bapak yg ingin menyelamatkan putri kecilnya bisa membuat berkaca2.

Intinya, kita tidak diberi awal dan akhir di film ini. Seolah kita hanya melihat sepenggal cerita saja. Namun kesan yg didapat terus membekas. Memang, ini bukan film utk semua orang. But, try this like I did...and I love it

Tuesday 22 June 2010

SMALL TOWN SATURDAY NIGHT>>>Film terbaik minggu ini


Ini jelas bukan film untuk semua orang. Film indie ini bisa membuat beberapa orang sebel setengah mati dengan gaya berceritanya, tapi Ithonx melihatnya sebagai film yang luar biasa keren. Bisa dibilang ini adalah film drama buat para pria. Jangan ketipu dengan covernya yang seolah mirip dengan film romantis. Disebut film pria karena seluruh karakter yang terlibat adalah pria dengan segala masalah batin mereka. Senang rasanya ada film drama pria yang tidak melankolis namun sangat berisi tanpa ada adegan gebak-gebuk.

Judul Small Town Saturday Night sebenarnya sudah menggambarkan isi ceritanya. Film ini hanya bersetting disebuah kota kecil bernama Prospect dengan populasi 1300an, dan cerita hanya berlangsung hari sabtu dari subuh hingga hampir menjelang tengah malam. Di awal, ketika subuh menjelang, kita diperkenalkan dengan Rhett yang dimainkan cemerlang oleh Chris Pine, seorang pegawai bengkel yang juga penyanyi country di sebuah bar yang ingin meninggalkan kota kecil itu demi menjadi penyanyi terkenal, namun karena cintanya dengan Sam, janda beranak satu, harus melakoni hidup sebagai pria rumahan dengan berencana tinggal bersama. Seiring terbitnya matahari, kita akan diperkenalkan tokoh-tokoh lain (lumayan berjejal). Ada seorang sheriff yang menyesal dengan perlakuannya terhadap sang istri, seorang ayah yang pemabuk, pria muda yang gendut yang dikira sang ibu gay, mantan napi yang kesulitan menjalani hidup diluar penjara, dan beberapa lainnya. Cerita terus berkembang dengan irama yang enak dan tanpa harus buru-buru diselesaikan. Perlahan penonton diajak untuk menelusuri hubungan antar karakter yang kadang membuat kita berujar "oh ternyata dia bapaknya/istrinya/saudaranya si itu.." dan jujur saja, ini menjadi kejutan yang mengasyikan. Jelas dong, mereka tinggal di kota kecil dan saling mengenal. Namun, hubungan antar karakter berhasil 'disembunyikan' hingga pertengahan cerita dengan sempurna membuat cerita mengalir sempurna.

Hanya dua karakter wanita yang punya porsi lumayan mewarnai cerita. Selebihnya, seperti yang dibilang tadi, penonton diajak berempati dengan tokoh-tokoh pria yang terkadang frustasi, kesal, putus asa, sedih tanpa terkesan cengeng. Uniknya, cerita satu hari ini bisa memuat banyak pesan moral dan dieksekusi dengan sempurna. Penonton akan tersenyum di akhir cerita dengan ending yang bisa membuat sedikit terharu. Dan, Chris Pine benar-benar bernyanyi disini.

Film indie memang berbeda dengan film-film mainstream yang tipikal. Makanya, beberapa aktor senang bermain disana untuk mengasah kemampuan akting mereka. Film indie tidak pernah berusaha keras menyenangkan penonton dengan cerita-cerita klise, namun mengajak penonton menyelami cerita itu sendiri. Di sayangkan memang film ini luput dari perhatian media dan tenggelam diantara popularitas film2 berbiaya mahal yang tanpa kesan apa-apa.

Semua pemain tampak tidak seperti berakting. Bahkan bahasa yang mereka pakai sangat natural membuat penonton merasa tidak sedang menonton sebuah film, tapi melihat kehidupan nyata mereka.

Nah, yang patut diperhatikan, ketika me-review film ini, Ithonx menontonnya dari dvd rip off alias belum versi original, so teks inggrisnya ancur lebur, teks indonesianya gak karuan, sehingga harus menontonnya tanpa teks. Maksudnya, jika kemampuan bahasa inggris kamu-kamu gak mumpuni, kamu akan kebingungan sendiri (lost in translation) karena semua kenikmatan menonton film ini bertumpu pada dialog-dialog yang sangat natural. But, give it a go, guys...

Monday 21 June 2010

FRINGE >>> Another mysterious story from Mr. Abrams



Penggemar serial The X-Files dijamin akan terobati kangennya dengan serial besutan J.J.Abrams ini. Dengan premis dan karakter yang lumayan mirip, penonton akan diajak ke kasus-kasus aneh yang melibatkan hal-hal diluar nalar. Namun harus diakui, The-X files berada satu tingkat levelnya dengan serial ini, karena chemistry Mulder dan Scully tidak bisa terbantahkan.

Serial ini di besut dan di produseri J.J Abrams. Yang belum tahu, Abrams adalah kreator serial populer LOST yang masa tayang enam musimnya baru saja rampung. Abrams juga sebelumnya dikenal sebagai pencipta serial Felicity dan Alias. Sementara proyek-proyek layar lebarnya juga banyak yang cemerlang semisal Mission Impossible 3, Cloverfield dan Star Trek yang tahun lalu berhasil menghidupkan lagi franchise luar angkasa ini. Dengan resume yang bagus itu banyak pengamat berpendapat bahwa Abrams adalah the next Stephen Spielberg yang punya visi luar biasa, apalagi Abrams masih sangat muda, maka wajar jika di nobatkan sebagai sineas paling cemerlang dekade ini.

LOST adalah karya Abrams yang bernuansa mistis dan adventure yang berhasil membuat gempar pecinta serial teve. Gaya bercerita back-to-back dan plot yang sangat susah ditebak membuat pecinta tayangan misteri menyukainya. Dan ketika terkabar Abrams membidani serial Fringe, harapan penikmat serial teve adalah tayangan yang sama berkualitasnya. Memang, di sana sini banyak kritikan, namun Fringe tetap punya penggemar dan kini memasuki musim ketiganya, dan para penonton setia mulai menyukai karakter2 yang terlibat.

FRINGE berfokus pada karakter Olivia Dunham, Peter Bishop dan Walter Bishop. Sebagai agen FBI, Olivia Dunham merasa terpukul dengan kemalangan kekasih sekaligus partnernya, John. John harus koma dan satu-satunya cara menyembuhkan John dan membongkar kasus tewasnya seluruh penumpang pesawat yang sedang diselidikinya, ia harus berkonsultasi dengan ilmuwan gendeng super jenius yang sekarang berada di rumah sakit jiwa. satu-satunya akses untuk berkomunikasi dengan sang ilmuwan, Walter Bishop, adalah dengan mencari tahu keberadaan sang putra, Peter Bishop yang menjadi penjahat/penipu di Baghdad. Singkatnya, setelah kasus terbongkar, John malah diketahui Olivia sebagai pengkhianat dan malah menuntunnya ke kasus-kasus lain yang lebih pelik. Di bantu Peter dan Walter Bishop yang awalnya tidak harmonis, mereka menjadi tim solid yang memcahkan kasus-kasus aneh yang selalu bermuara ke perusahaan teknologi raksasa, Massive Dynamic.

Kayaknya harus dijelaskan juga apa itu Massive Dynamic. Episode demi episode kita akan tahu bahwa kasus-kasus ganjil yang mereka tangani adalah hasil misuse ciptaan-ciptaan Walter Bishop yang dulu bekerja sama dengan sang pemilik Massive Dynamic yang keberadaannya tidak diketahui orang (ini menjadi misteri terbesar di season satu). Sehingga Walter Bishop harus bekerja keras membongkar-bongkar hasil risetnya dulu untuk memecahkan kasus, sementara dia juga harus membina hubungan bapak-anak yang dulu terbengkalai dengan sang putra Peter. Olivia sendiri harus berpikir keras apakah kasus-kasus yang ia tangani mempunyai pola yang memhubungkannya dengan misteri besar nantinya. Karakter-karakter lain juga muncul, dan Abrams seperti biasa, selalu membuat setiap karakter menjadi abu-abu. Maksudnya, di satu episode kita akan melihat beberapa karakter sangat antagonis, namun di episode berikutnya seiring misteri terkuak kita akan sadar bahwa karakter-karakter tersebut tidak seperti yang kita pikirkan. Asyik.

Sama halnya dengan The X-Files, karena bertumpu pada kasus-kasus yang akan dipecahkan, masalah-masalah personal pada tokoh utama tidak banyak di kedepankan. Tapi untunglah sekali dua kali kita akan melihat pergulatan batin Olivia ketika berurusan dengan orang2 terdekatnya, atau Walter yang terkadang sangat eksentrik. Sayang, Peter Bishop yang diperankan Joshua Jackson tidak diberi ruang untuk menjadi likeable and punya karakter khusus sehingga hingga pertengahan musim ke dua, kita masih melihat tokoh ini dengan datar, walau diketahui lewat dialog-dialog ringan bahwa Peter menyukai Olivia. Tapi tetap enak kok di tonton

Bercermin dari serial LOST yang di akhir musim kehilangan gregetnya, Abrams harus sadar bahwa misteri besar di FRINGE tidak boleh dibiarkan berlarut-larut (nasib sama juga dialami X-Files yang hrs ditinggalkan Duchovny dan Anderson di musim ke 8, dan sejak itu kehilangan penonton setia). Menelusuri misteri demi misteri di dalam kasus2 yang ditangangi Olivia Dunham dan The Bishop memang asyik, tapi jika misteri itu tak kunjung selesai maka yang ada adalah rasa bosan dan malas. Tolong dengar ya Bang Abrams.

GLITTER....Titanic-nya Mariah yang hampir menenggelamkannya



Di rilis tahun 2001, film ini mendapat paling banyak sorotan media dan menjadi film yg paling banyak di cerca para kritikus. Gagal dalam banyak segi, dan album soundtracknya ikut2an gagal total, padahal secara kualitas soundtrack-nya jauh diatas rata..

Entah apa yang salah dengan film ini sehingga media benar2 "menghancurkan"-nya, padahal banyak film2 lebih atau sama buruknya tp tidak menjadi sorotan media. Benar, jawabannya adalah karena film ini dibintangi oleh sang DIVA. Mariah memang punya jutaan fans hard-core, namun haternya mgk sama byknya. Tidak sedikit yg jengah dg ke suksesan sang diva hingga sangat sulit penyanyi2 wanita muda meniti karir dan sukses jika pya suara biasa2 saja.

Kegagalan Glitter berimbas merosotnya karir mariah beberapa tahun, bahkan Mariah sempat dg sukarela mendaftarkan diri ke klinik jiwa lantaran terkena nervous breakdown. Mungkin masih ingat, era awal 2000an penyanyi2 muda semisal Alicia Keys, Norah Jones, Michelle Branch, belum lagi Britney dan Christina, juga Diva2 laen kyk Shania Twain, J.LO, Sherryl Crow berlomba2 merebut pasar musik dengan absennya Mariah yg sebelas tahun menguasai pasar musik, dan dinobatkan sebagai Penyanyi Wanita berpenjualan album terlaris sepanjang masa.

Semua orang mengira bahwa inilah akhir karir sang Diva, seperti penyanyi2 lain semisal Whitney Houston, Tiffany, dll yg berkarir tak lebih dari satu dekada. Salah Besar. Tahun lalu Mariah malah dipuji2 karena akting gemilangnya di film Precious.

Mariah Carey harus tertatih2 pasca film ini. Tiba2 kata "glitter" berasosiasi dg kata "failure" dan byk dipakai di media. Kontraknya hrs diputus, dan bahkan DVD film ini tidak diedarkan di US, namun hanya diluar Amrik.

Tahun 2003 Mariah merilis album Charmbracelet, namun responnya ttp buruk di US, sehingga Mariah memutuskan merilisnya di Eropa dan Asia yg diikuti tour dunia. Publik US rupanya belum memaafkan "kebobrokan" Glitter walau Charmbracelet lumayan sukses. Mariah juga bermain film2 berbujet kecil atau indie beberapa kali.

Dan di tahun 2005...di rilis lah album Emancipation of Mimi yg sukses besar dibanyak segi. Di nobatkan sbg album terlaris 2005, dan single "We belong together" mendapat predikat "Song of Decade", dan album ini mencetak rekor abadi buat Carey yg berhasil menjadi satu2nya penyanyi wanita yg punya hits no.1 terbanyak (di album berikutnya bahkan mengalahkan Elvis Presley)...

20 tahun sudah Mariah Carey berkarir, dan belum ada tanda2 sang diva akan berhenti mencetak rekor....

Saturday 19 June 2010

AVATAR- THE LEGEND OF AANG>>>>THE LAST AIR BENDER.



Malang bagi adaptasi film kartun Nickelodeon ini, gara-gara James Cameron sudah lebih dulu memakai kata AVATAR (dan juga di paten kan) di film pencetak uang terlaris sepanjang masa tempoh hari, maka film ini harus cukup berlapang dada dengan hanya berjudul THE LAST AIR BENDER.

Barisan bintang-bintang muda di film adaptasi kartun ini lumayan familiar. Ada Dev Patel dari Slumdog Millionaire dan Jackson Rathbone dari Twilight Saga. Sutradaranya pun M. Night Shyamalan. Siapa sih Shyamalan? Buat yang belum tau, dia adalah sutradara berdarah India yang bertanggung jawab dibalik suksesnya thriller psikologis Bruce Willis seperti The Sixth Sense dan Unbreakable, juga The Sign yang juga di bintangi Mel Gibson dan Joaquin Phoenix.
Namun banyak juga yang pesimis dengan kesuksesan film ini. Shyamalan akhir2 ini lumayan banyak membuat film gagal misalnya Lady in the Water dan yang terakhir film yang dibintangi Mark Wahlberg dan Zoey Dischanel, The Happenning. Jadi film ini adalah pertaruhan besar buat sutradara yang pernah membuat banyak penonton ‘mencak-mencak’ dengan ending di The Village.

Berkaca dari film2 adaptasi kartun lain juga, resiko gagal tetap menganga disana sini. Masih ingat mungkin bagaimana Dragon Ball: The Movie dicaci maki oleh penonton. Jadi banyak alasan mengapa pembuat film ini harus was-was. Apalagi Hollywood seolah tidak mendengar keluhan para pecinta manga yang menyuruh berhenti mengadaptasi kartun2 bagus lantaran Hollywood selalu mem’bule’kan karakter-karakter yang seharusnya berwajah Asia padahal pecinta film aslinya banyak yang dari Asia. Tentu saja contoh paling dekatnya adalah Goku di Dragon Ball yang menjadi bule dan tidak berotot. Harus diakui memang, rasialisme dan bisnis mengalahkan idealism Shaymalan yang konon menginginkan semua pemeran utama berdarah Asia, tapi petinggi Hollywood kabarnya malah menginginkan wajah-wajah bule untuk mengisi semua karakter2. Tentu saja gelombang protes dan ancaman boykot para fans sejati membuat mau tak mau wajah asia akhirnya tampil walaupun sangat terbatas. Solusi tepatnya mungkin, film2 bernuansa Asia harus digarap orang dan bintang2 Asia juga.

Apalagi, melihat dari trailernya, film ini terkesan sangat serius, padahal versi kartunnya sangat kocak (lagi-lagi contoh gagalnya Dragon Ball).
Tapi kemungkinan disambut baiknya juga tetap terbuka lebar, apalagi Shyamalan konon belum-belum sudah membuat lanjutannya. Wuih. Yah, paling tidak awal Juli ini kita bisa melihat Aang, Katara, Sokka dan Zuko beraksi…..

Friday 11 June 2010

Remember me


Suprisingly great..!

Robert Partinson harus cepat-cepat menyelesaikan Twilight Saga dan berpaling ke peran-peran seperti di Remember Me. Siapa tahu beberapa tahun lagi dia bisa menjadi the next Brad Pitt, Matt Damon, Leo DiCaprio atau Tom Cruise yang sangat jarang bermain buruk. Sementara buat Emille DeRavin, habisnya masa tayang LOST berarti usainya masa-masa dia harus terperangkap dalam karakter Claire yang charming dan saatnya mencoba peran-peran menantang.

Bukan, ini bukan film komedi romantis, tapi jika harus di paksakan harus masuk ke genre mana film ini, mau tak mau Ithonx harus memasukkannya ke drama (tanpa embel-embel romantis). Dua karakter utama Tyler dan Ally berusia 22 dan 21 tahun, dan mestinya harus terperangkap dalam penggambaran mahasiswa Amerika yang tipikal seperti “never ending party”, “free sex” yang berlebihan, atau kekonyolan berlebihan antara ‘jocks’ dan ‘geeks’. Namun karakter utama kita ini diberi masalah yang sangat ‘njelimet’ dan psikologis yang membuat penonton menelusuri latar belakang masing-masing karakter dengan sabar. Dan, ternyata sangat tidak membosankan.

Dengan premis sederhana, Tyler dibujuk roommate-nya untuk mendekati Ally karena ayah-nya Ally adalah polisi yang beberapa malam sebelumnya menggebuki mereka berdua yang jelas-jelas tidak bersalah, cerita memang agak tersendat. Namun kelanjutan ceritanya sedikit bergeser ke polemik orang-orang di sekitar dua karakter ini. Tyler harus “mengasuh” sang adik dan terus di bayang-bayangi kematian sang kakak yang menjadi idola-nya, sementara harus menghadapi sang ayah kandung yang kaya namun otoriter dan tak mau tau perkembangan mental anak-anaknya. Sementara Ally harus berusaha melupakan trauma masa kecilnya akan ‘subway’ dan sang ayah yang overprotektif.

Mengharapkan film ini akan seperti film-film tipikal remaja lain yang penuh dialog romantis dan konyol akan menjadi pengharapan yang sia-sia. Memang sesekali Aidan, teman Tyler sering bertingkah konyol, tapi untunglah tidak terlalu sering karena bisa-bisa merusak tone film ini yang sudah sangat sempurna untuk serius.

Ada kejutan sedih di akhir cerita yang, jujur nih, membuat Ithonx sedikit berkaca-kaca, dan membuat kita miris dengan karakter Tyler. Harus kah ending yang sudah sangat bagus berakhir seperti itu? Tapi mau tak mau memang dari awal penonton sudah di beri petunjuk akan akhir cerita nya, misalnya dari judulnya saja yang “Remember Me”, dan kalimat-kalimat Gandhi yang kerap di kutip Tyler dalam buku hariannya, atau film American Pie 2 yang ditonton Tyler dan Aidan yang mau tidak mau “membongkar” setting dan timeline film ini. Pokoknya, memang seperti itulah akhirnya.

Film ini akan membuat kita sedikit merenung tentang orang-orang disekitar kita yang terkadang memberi pengaruh besar dalam hidup kita tanpa kita sadari. Kita juga akan mensyukuri anugrah terbesar sang pencipta yaitu, hidup. Hidup terlalu pendek untuk disia-siakan. Dan yang terpenting, tak perlu hidup abadi atau terkenal untuk terus dikenang orang, cukup hanya memberi banyak arti bagi orang-orang terdekat kita. Dengan bagusnya cerita dan gemilangnya akting para aktor, Ithonx memberi nilai 9/10. Puas kalo nonton film berkualitas.

Thursday 10 June 2010

THE A-TEAM


Perang film2 berbiaya besar musim panas sudah dimulai dari akhir bulan April kemarin. Di buka dengan Alice in Wonderland, Clash of The Titans, Iron Man, Prince of Persia, Shrek 4, Robin Hood, dan nanti sebelum Vampir mellow dan Penyihir2 puber ikut2an menggempur bioskop, THE A-TEAM memberi angin segar bagi yang sudah muak dengan cerita fantasi, adaptasi novel dan superhero. Yes..!!! Film gebak-gebuk, letap-letup ala Mission Impossible akhirnya hadir. Hmmm…Mission Impossible?? Ithonx ingetin, mau gak mau kita harus membandingkannya dengan film seru kakak ku itu (yang gak setuju silahkan ambil kantong di sebelah kanan buat muntah). Apanya yang sama? Baik A-Team maupun Mission adalah film2 yang diangkat dari serial TV klasik pada dekade yg relatif sama (tolong ya, lupain dulu Sex and The City). Pada masanya nih, kedua serial itu sangat menghibur dan punya banyak fans. Uniknya tanpa harus ada adegan mati atau ledakan super dasyat kedua serial itu tetep asyik (he..he padahal ingetan Ithonx samar2).

Formula cerita versi film tetep sama dengan versi teve-nya, tentang sekelompok tentara bayaran yang menyebut diri mereka The A-Team. Kali ini dalam versi film-nya, mereka harus berusaha melawan pemerintah demi membersihkan nama mereka. Sesederhana itu kah premisnya? Nggak dong, kalo diceritain bakal mengganggu kenikmatan menonton. Yang pasti, ini bener2 film cowok.

Yuk ngomongin bintang2nya. Serial teve-nya luar biasa heboh dulu dan bahkan gaya rambut Mohawk ala B.A jadi trendsetter. Nah, filmnya sendiri konon bakal mengekploitasi ketampanan dan six pack-nya si Bradley Cooper yang akhir2 ini beken banget sehingga banyak yang lupa bahwa dia dulu jg beken di serial teve Alias (Ini dihitung berdasarkan banyaknya adegan si Bradley gak pake baju). Ada juga Patrick Wilson, aktor senior Liam Neeson (baru kita saksikan dalam Clash of The Titans sebagai Hades), dan si seksi Jessica Biel yang biasa main di film2 eksyen. Sementara itu yang jadi banyak perbincangan adalah siapa pemeran B.A yang dulu diperankan oleh Mr. T dan susahnya mencari bintang yang punya karisma sama dengan si Mr.T, akhirnya peran itu dimainkan oleh Quinton Jackson sang mantan juara UFC.

Besar kemungkinan film ini akan sukses besar dan melahirkan sequel2 seperti film2 sebelumnya yang juga diangkat dari serial teve, rujukan bagusnya tentu saja Mission Impossible. Namun jika yang dijual hanya eksyen brainless dan ledakan2 tanpa juntrungan, bisa jadi film ini akan seperti Charlie’s Angels yang terlalu ringan dan mengada-ada, atau malah seperti G.I Joe yang terlalu berlebihan dalam efek spesialnya. Yah…paling tidak alasan Ithonx ke bioskop adalah hadirnya si Cooper dan Biel yang sama2 seksi, dan jika ternyata apa yg diharapkan tidak seperti ekspetasi (seperti Clash of The Titans), jangan khawatir, summer belum berakhir di Amrik, yang berarti film2 berbiaya besar lain masih banyak untuk di tonton. Yuk mari.

Wednesday 9 June 2010

Conversational Humor Types

1. How do you wake up Lady Gaga?? Poke her face

2. Joey and Ross (close friends) are discussing in a hospital waiting room about Ross' wife who confessed to him that she is a lesbian, Joey said "So you never knew that your wife loves other woman since the beginning?" Ross then answer "A little louder, please. I think there is a woman in 12th floor in comma who didn't hear you"

3. Jane and Andy are in laundry room. Jane used to live in her rich father so she never washes her clothes with machine before then she says to Andy "Okay, I'm busted. I'm a laundry virgin." Andy then replies "Hmm....so I'm gonna use gentle cycle then..."

4. Matt has been waiting for Lynn for a party, but when Lynn shows up with weird dress and hairdo, Matt says "Oh God, One Lady Gaga is enough, but I love it"

5. Jim is reading a book and finds something interesting, and reads it out to his friends John, "Hey, global warming is not a fairy tale. It's real. Don't we realize that it's getting warmer and even hotter every day?" and John says "I guess Mariah Carey, Beyonce, and Christina had realized it long time ago before we do"

6. Emmy says to her friend who has good a voice in singing but with no luck with parents' approve for being a singer "I think you will be the next Pariah Carey"

7. Bambang quotes from Bible "Listen to this, the words say "Love your enemy, forgive who curse you and pray for those who mistreat you" Then Waluyo snaps "Is that why you now are dating our boss and want me to forget what you said about my girl when you were drunk?"

8. Kita tunggu jawaban Ariel mana yang lebih "Dahsyat" ketika di "Insert"

9. Men are like coffee, the best ones are rich, hot, and able to keep you all night long, says Dessy to her friends

10. Donna : Hey Hills, I think you dropped something...
Hillary : What?
Donna : your dignity...!

Monday 7 June 2010

Pagar Alam: Sebuah Napak Tilas




Sebenarnya perjalanan ke Pagar Alam terjadi beberapa bulan silam, tepatnya bulan Februari, namun tanpa sengaja aku melihat lagi foto2 dari handphone ku, jadi lumayan juga aku abadikan dalam sebuah cerita gak penting ini. Pagar Alam sebenarnya bukan tempat favoritku karena jauhnya minta ampun untuk sebuah tempat wisata yg masih dalam satu propinsi. Maksudnya, Kota ini sebuah dead end, sekali kita kesana, sulit mencari tempat-tempat lain untuk dikunjungi, jika dibandingkan tempat-tempat di Jawa maksudnya. Tapi Pagar Alam punya cerita tersendiri bagi diriku.

Saat itu aku masih di kelas 2 SMA. Sekolahku punya program hebat, siswa yang akan memasuki tahun ketiga harus tinggal selama dua bulan dengan penduduk desa, merasakan menjadi bagian keluarga yang ditumpangi, dan mengerjakan semua chores yg biasa mereka kerjakan sehari-hari. Memang, mirip dengan program reality show yang ada di teve (mungkin yg buat program itu lulusan sekolahku, he..he). Jadi, aku dan lima temanku ditempatkan sebuah desa yg berada di sebuah kaki gunung. Rumah yg kami tumpangi adalah rumah kepala dusun yang lumayan kaya. Sementara teman-teman lain tinggal di rumah penduduk yang sederhana yang terkadang tak punya kamar mandi, aku tinggal di rumah yang besar dan bisa menikmati tayangan MTV. Wow. Si kepala dusun punya dua anak perempuan, satu masih SD, satunya duduk di SMP kelas 3 saat itu.

Mungkin sudah bisa ditebak, karena terlalu sering ngobrol dan bercanda denganku si anak SMP ini mulai menyukai aku dengan cara yang berbeda. Di sinilah cinta monyetku terjadi (lagi). Dan ada pengalaman aneh saat menjelang hari-hari terakhirku disana. Sore hari saat diberitahu bahwa dua hari lagi akan pulang ke asrama sekolah, aku dan Dia bergegas ke kebun alpokat yang sudah habis musimnya. Memang salahku sih, teman-teman lain sudah membeli buah untuk oleh-oleh itu jauh-jauh hari karena takut musimnya akan segera berakhir, namun aku tak peduli. Kebun alpokat punya pamannya kami telusuri dan tak satupun buah yang masih tergantung di pohon, aku benar-benar kecewa. Kami kemudian, hanya berdua, menelusuri sungai kecil dan duduk di pinggirnya sambil bercanda. Tak lama kami berjalan kembali, menyusuri jalan yang akan menuju rumahnya dengan dua keranjang kosong melompong hingga tanpa sengaja melihat sebuah pohon alpokat, satu-satunya, yg masih berbuah banyak. Kami saling pandang tidak percaya, kemudian berlari kegirangan menghampiri pohon tersebut. Buahnya sangat tinggi walaupun lebat. Sambil berpikir untuk memanjat atau tidak, kami duduk dibawahnya, hingga entah dari mana tiba-tiba angin bertiup kencang dan semua (mungkin tidak semua) buah jatuh. Aku segera memunguti dan dua keranjang yang kami bawa seketika menjadi penuh.

Mungkin ini kejadian biasa, tapi aku menganggap itu sebuah keajaiban. Bayangkan, hanya ada satu pohon tersisa dengan banyak buah, dan tiba-tiba jatuh karena angin kencang. Lalu kami pulang ke rumah, mungkin butuh 45 menit berjalan dari rumah ke kebun. Di tengah perjalanan hujan deras dan kami tetap berjalan, sehingga ketika memasuki desa, teman-teman banyak yang menyoraki kami. Sesampai dirumahnya aku langsung diberi tahu kalau kami akan pulang ke asrama sekolah malam itu juga, bukan dua hari lagi seperti yang direncanakan. Aku melihat kesedihan di matanya. Dia terus bilang untuk jangan lupa mengirim surat dan aku terus meng-iyakan, kemudian Dia mengurung diri di kamarnya. Hingga malam perpisahan di gelar, aku tidak melihat dirinya, sang ibu hanya bilang padaku bahwa dia terlalu sedih untuk datang, dan memberiku amplop berisi fotonya. Dan ketika bis akhirnya meninggalkan desa, aku bahkan tak melihat wajahnya diantara penduduk lain yang mengantar kami. Aku sangat sedih. Dan sejak saat itu aku tak pernah melihatnya lagi. Hingga sekarang. What happened in Pagar Alam, happened in Pagar Alam.


Dan bulan Pebruari lalu, seorang teman secara tiba-tiba mengirimi aku sms berbunyi “hey, wanna join us to Pagar Alam?” Aku berpikir sejenak sebelum menjawabnya. Memang besoknya akan libur panjang akhir pekan tapi yg aku bayangkan adalah lamanya perjalanan. Akhirnya aku mengiyakan, lagipula teman yang mengajak ini bukan berasal dari Indonesia, jadi hitung-hitung punya pengalaman baru dengan mereka.

Akhirnya keesokan harinya kami berangkat dengan mobil travel. Ah, Pagar Alam, mungkin ini kali pertama aku datang lagi kesana setelah hampir 10 tahun. Aku tak tahu apa yang aku harapkan. Tentu saja semua sudah sangat berbeda, dan aku tahu aku akan melewati desa yang dulu memberiku pengalaman indah. Sepanjang perjalanan dengan ketiga teman tersebut kami isi dengan obrolan-obrolan lintas budaya, dan ketika semua orang kehabisan subjek pembicaraan maka yang dikerjakan adalah memejamkan mata mencoba tidur sambil berharap segera sampai. Dan imajinasiku pun bermain. Aku mulai menelusuri masa-masa SMA dulu. Sesekali aku bertanya dalam hati, apa dia masih di desa itu? Apa dia masih ingat dengan aku? Bagaimana wajahnya sekarang? Atau jangan-jangan dia sudah punya anak banyak dan tidak mengenaliku lagi? Benar-benar konyol. Tentu saja dia tidak mengenaliku karena sudah lebih dari sepuluh tahun lalu dan dia masih SMP saat itu, itupun kalau benar-benar ketemu. Konyolnya, sebelum berangkat aku sempat membuka dan melihat foto nya yang dulu ia beri lewat ibunya di malam ketika aku kembali ke asrama sekolah. Sempat juga aku menghayal jika tanpa sengaja kami bertemu di sebuah tempat dan saling jatuh cinta lagi seperti di film-film romantis. Ha..ha..ha.

Akhirnya menjelang ashar, kami sampai di kota Pagar Alam dan menemukan hotel yang awalnya kami pikir cocok untuk ditempati. Kota ini sudah benar-benar berubah. Hotel sudah sangat banyak di sana. Kami tidak menginap di hotel malam itu karena ada orang yang menawari untuk tinggal di rumahnya. Memang rumahnya kecil dan sempit, tapi tidak apalah karena ini pengalaman baru, apalagi buat si orang Amrik dan London itu. Biar mereka merasakan menjadi orang Indonesia. Mungkin karena sangat jarang orang-orang berkulit putih berkunjung ke kota ini, jadi tiap kali teman-temanku ini berjalan, mereka melihat, menatap dan terkadang mengambil foto mereka. Wajar bagi kita, namun menyebalkan bagi mereka. Hari pertama kami menelusuri air terjun terdekat. Terlalu biasa. Kemudian kami mencari hotel atau villa di sekitar perkebunan teh. Juga biasa saja. Aneh, aku tidak merasakan kekaguman seperti dulu. Mungkin karena dulu masih remaja dan tempat-tempat wisata belum banyak aku kunjungi jadi belum ada pembanding. Dan dibenakku selalu terbesit keinginan untuk mengunjungi desa si cewek “SMP” itu.

Kegiatan yang kami lakukan di perkebunan teh melindas hasrat terpendamku itu. Mengasyikan, mendengar cerita mereka masing-masing tentang negara-negara yang pernah mereka kunjungi, budaya mereka atau cara berpikir mereka jauh lebih menarik ketimbang jeprat-jepret mengambil foto kebun teh yang terlihat biasa saja. Bayangkan, di kaki gunung, di balkon sebuah villa, aku menerima pelajaran tentang perbedaan bahasa inggris amrik dan british. Tentu ini jauh lebih berharga daripada menerimanya dengan membaca buku atau seorang guru di sekolah yang memberi tahu.

Ketika turun menelusuri pabrik teh, ingatanku semakin jelas. Tentu saja, pabrik ini sepuluh tahun lalu masih seperti ini. Aku melihat jalan setapak menuju desa itu. Rasanya aku ingin segera berlari menyusuri jalan sempit itu, tapi ku urungkan niatku. Sebaiknya yang terjadi satu dekade lalu tetap menjadi kenangan indah saja. Ini bukan film atau roman picisan yang sering aku kritik ketika menulis review-nya.

Hingga akhirnya aku sampai kembali ke kota ku, aku hanya bisa menghayalkan saja pertemuanku dengan dia. Pagar Alam tidak memberiku kesan apa-apa. Hambar. Kemegahan gunung, hamparan perkebunan atau dinginnya udara tidak membuatku begitu terpesona. Bahkan beberapa kekacauan karena ‘sangat Indonesia’nya sikap penduduk terhadap bule membuatku gerah dan jengkel. Satu-satunya yang ku nikmati adalah obrolan-obrolan yang terjadi dengan teman-teman yang menyertaiku liburan itu.

Dan aku tidak akan pernah punya rencana lagi untuk ke Pagar Alam. Bukan, bukan karena Pagar Alam tidak indah dan mempesona, tapi karena kota itu tidak punya lagi hal-hal yang membuat aku tertegun kagum seperti yang aku rasakan dulu.




When in Rome



Karena putus asa dan tak terlalu yakin apa yang ia harapkan bakal menjadi kenyataan, Beth Harper (Kristen Bell) malah harus menghadapi banyak masalah yang jauh lebih rumit dari masalah yang semula ia hadapi.

Beth Harper adalah seorang kurator museum di New York yang cukup sukses dalam karier. Di usianya yang masih terhitung muda Beth sudah menduduki posisi yang tak mudah didapatkan namun sebagai konsekuensinya kehidupan pribadi Beth jadi terbengkalai. Kalau soal karier Beth bisa dibilang wanita yang beruntung tapi soal asmara justru malah sebaliknya.

Suatu ketika Beth harus berangkat ke Roma karena adiknya yang berada di sana tiba-tiba memutuskan menikah dengan pria yang baru saja dikenalnya. Saat berada di Italia inilah Beth berkenalan dengan sebuah tempat yang disebut mata air cinta. Konon barang siapa melempar mata uang logam ke kolam mata air ini maka ia akan segera mendapatkan jodohnya. Celakanya, karena sebuah 'kecelakaan' Beth bukannya melempar uang logam ke kolam ini malah mengambil beberapa uang logam yang ada di sana.

Kontan saja beberapa pria yang tak dikenalnya tiba-tiba saja memburu Beth ke mana pun ia pergi. Konon, menurut legenda, barang siapa mengambil mata uang logam yang ada di kolam ini maka ia akan berhasil merebut hati pemilik uang logam ini. Kalau sebelumnya Beth harus berusaha keras untuk mendapatkan pria, kini Beth harus mati-matian menghindar dari beberapa pria yang memburunya sampai ke kota New york.

Kalau mau jujur, formula yang ditawarkan Mark Steven Johnson, sang sutradara sekaligus penulis naskah film ini, sebenarnya bisa dibilang generik. Tak banyak hal baru yang ditawarkan Mark kali ini. Dari sepenggal kisah di atas saja kita pasti akan tahu kalau lelucon yang ada dalam film ini pasti akan berada di seputar kekonyolan saat Beth dikejar-kejar oleh empat pria ini.

Di lain sisi, fungsi film komedi memang adalah untuk menghibur dan untuk fungsi yang satu ini, 'When in Rome' sebenarnya sudah cukup berhasil. Artinya, penonton tak perlu terlalu banyak berpikir karena alur kisah memang dibuat sangat sederhana. Kita tinggal duduk manis dan menertawakan kekonyolan yang terjadi di antara para karakter dalam film ini.

Ithonx memberi nilai 7/10

Sunday 6 June 2010

Aku Pecandu Hollywood Part 2



Lantaran harus di asrama, maka akses untuk menonton tv menjadi sangat terbatas ketika aku memasuki tahun-tahun di SMA. Padatnya aktifitas dan ekstrakuler membuatku hanya bisa menikmati Hollywood saat aku pulang ke rumah, yaitu sabtu dan minggu. Dahaga terhadap tontonan barat aku lampiaskan dengan membaca majalah remaja pria dan majalah film. Jumat sore adalah waktu yg menyenangkan karena aku bisa pulang ke rumah setelah bergelut dengan pelajaran dari senin mulai pukul 6 pagi hingga 5 sore. Saat pulang ke rumah aku melepas rindu dengan Beverly Hills 90210, Melrose Place, Baywatch, namun karena hanya di akhir pekan dan jam tayang yg berganti-ganti terus, aku sering bingung dengan cerita dan musim yg ditayangkan. Pada masa-masa ini aku sangat rajin menonton di bioskop. Saat itu aku belum paham mana film-film kelas B atau kelas A, yang aku tahu jika film itu bagus di tonton maka aku akan menontonnya. Steven Seagal, Cyntia Rothrock, Micheal Dudikof, Jeff Pahey, dan lain nya menjadi idola lantaran film-film mereka lebih banyak diputar di bioskop-bioskop menengah di banding film-filmnya Tom Cruise, Johny Depp atau Brad Pitt.

Memasuki tahun-tahun akhir SMA aku lebih sering di rumah dan berdekatan dengan TV. MTV begitu mempesona bagi diriku, dan sitcom menjadi tontonan yang aku tunggu. Friends yang selamanya akan jadi sitcom paling aku gemari tak pernah aku lewatkan, meskipun tengah malam ditayangkan, berdekatan dengan jadwal tayang Step by Step, dan Mad About You. Sitcom-sitcom lain juga secara sporadis aku tonton semisal Blossom, Boy meets world, The Nanny, dan Freakazoid, dan lainnya. Aku begitu ketagihan dengan tayangan ini. Aku bisa terbahak2 ditengah malam menyaksikan ke konyolan para karakter sitcom. Orang lain, misalnya saudara-saudaraku atau teman sangat kesulitan menemukan kelucuan dalam tiap sitcom yang aku tonton, tapi aku dengan mudah terbahak-bahak yang tidak juga aku ketahui mengapa atau dimana lucunya. Aneh.

Memasuki masa kuliah, banyak waktu yg aku habiskan dengan teman-teman dan pacarku diluar, namun ketika di rumah, waktunya Hollywood. Masa-masa kuliah aku sebut sebagai masa-masa terindah dalam hidupku. Aku menemukan teman-teman yang seru, pacar yang hebat, dan tontonan televisi yang luar biasa. Bioskop tidak lagi menjadi tempat favorit karena teknologi digital mulai memenuhi semua aspek kehidupan. Serial televisi Hollywood membanjiri hampir semua stasiun televise, membuatku harus membeli TV Guide tiap minggu dan terkadang merasa kesal karena beberapa tontotan favorit harus bertabrakan jadwal tayangnya (anehnya, perasaan kesal itu sangat aku rindukan sekarang). Minggu siang aku bisa terkesima dengan petualangan Hercules dan Xena, sorenya aku bisa melotot melihat sexi-nya Yasmine Bleeth di Baywatch, menjelang malam film-film blockbuster sangat seru di tonton, dan jam 10 waktunya Melrose Place. Ah, tiap hari selalu ada tontonan yang berbeda yang aku tunggu-tunggu kehadirannya. Dari karyanya Darren Star semisal Beverly Hills 90210, Melrose Place, Central Park West, Models Inc. dan Sex in The City, atau serial2 misteri kayak The X Files, Millennium, Twilight Zone, Night Vision, Amazing Stories, Tales from the Crypt, atau Goose Bumps, belum lagi sitcom yang makin ramai, serial spionase seru kayak Alias, CSI, dan detektif-detektif seru, drama-drama hukum menggelitik kayak Ally McBeal dan The Practice, drama keluarga satir kayak Felicity, Party of Five dan Desperate Housewives, atau drama-drama medis seperti ER dan Chicago Hopes. Ya ampun, jika aku benar2 membuat daftar nama-nama tontonan tersebut, maka daftarnya akan sangat panjang dan akan membuatku terus bernostalgia tanpa henti. Memang aku pecinta serial TV walau film-film layar lebar pun aku nikmati. Alasannya sederhana, banyaknya episode membuat kita bisa menyelami karakter dan merasa ‘attached’ dengan karakter tertentu dalam cerita.

Maka akulah yang paling bersedih ketika tontonan Hollywood di televisi berkurang drastis dan hampir tidak ada. Sekarang menonton acara televisi sangat tidak menyenangkan. Memang sih, satu dua masih ada tayangan lokal fiksi yang harus diakui bagus (keluarga cemara, si doel anak sekolahan, Noktah merah perkawinan, dll), tapi jumlahnya sangat sedikit. Coba lihat, televisi nasional kita dipenuhi acara-acara musik tidak berbobot, reality show yang direkayasa, sinetron-sinetron tidak mendidik, berita-berita bombastis ataupun infotainment yang sangat tidak penting.

Masa transisi itu begitu sulit hingga akhirnya datanglah masa keemasan DVD.

Ada orang yang begitu berkeinginan mengumpulkan episode demi episode serial televisi dan mengemasnya dalam keping DVD dan menjualnya dalam kemasan yang menarik. Beberapa paket DVD orisinil serial-serial beken juga banyak di rilis dan beberapa aku koleksi demi sebuah nostalgia. Sekarang ini, walaupun serial-serial televisi tidak mungkin akan ditayangkan di stasiun tv kita, aku tak pernah kuatir lantaran DVD shop (kebanyakan yang rip off) bisa menyediakannya. Menonton serial tv anyar dari keping DVD memang sangat nyaman tanpa gangguan iklan dan jadwal tayang yang terkadang tidak cocok, tapi ada sensasi lain ketika tayangan favorit itu tayang di tv kita dan bisa ditonton banyak orang. Serial-serial berkualitas seperti Glee, Mercy, Private Practice, Grey’s Anatomy, CSI, Lost, BONES, dsb seharusnya ditayangkan agar memperkaya pengetahuan penonton yang kering akan tontonan bermutu. Aku tidak pernah kuatir akan tontonan tv bermutu asal Amerika karena dengan mudah bisa datang ke DVD shop langgananku, tapi aku sangat kuatir generasi sekarang hanya tahu sinetron dan tidak menerima banyak ekposure bagus, terutama bahasa, dan mengalami kesulitan berkomunikasi dalam berbahasa inggris lantaran tidak punya sense of English.

Wednesday 2 June 2010

Aku Pecandu Hollywood Part 1




Kenangan masa kecil ku selain diisi dg childhood games yg menyenangkan, juga di isi tayangan2 tv yg beberapanya masih ditayangkan dan terlihat sangat klasik. My Dad pernah bercerita kalo umur 4 tahun aku sdh bisa menyebutkan huruf, memang tidak istimewa utk anak zaman sekarang, tapi terus terang saja itu membuat My dad bangga dengan "keluarbiasaanku" itu. Keinginanku utk bisa membaca sangat besar, dan aku harus berterimakasih pada Woody Woodpecker. Si burung pelatuk nakal ini begitu menggemaskan. Pada saat itu belum ada dubbing, jadi semua tayangan impor termasuk film2 kartun berbahasa inggris. Ah, aku ingat my Dad sering membiarkan aku duduk di pangkuannya sambil bercerita apa yg di katakan si Woody, sambil berujar "makanya...belajar baca biar ngerti.." dan setahun kemudian aku bisa membaca dengan lancar, seperti anak2 lain yg baru bisa membaca, aku punya nafsu yg besar utk membaca apa yg bisa di baca dengan suara cempreng. Dengan nikmat aku bisa menikmati film kartun Flash Gordon, Donal Bebek, Bumpty Boo, dan tayangan lain. Bertambah umur aku mulai melirik tayangan yg bukan kartun. Walau terkadang tidak mengerti lucunya dimana, tp aku mulai kenal anggota keluarga Dokter Huxtable, saudara angkat Vicky si Kecil Ajaib, teman2 Micky di Friday the Thirteen. My Dad memberiku jatah hanya sampai jam 10 malam untuk menonton tayangan tv, tapi itu tidak menghentikan kegilaanku menonton. Aku ingat aku ikut bersedih ketika partner-nya Hunter dibunuh, para anggota The A Team terperangkap, dan si cantik Madchen Amick di Twin Peaks harus pergi, atau ketika Remington Steel terjebak. Saat itu aku bahkan belum menyelesaikan Sekolah Dasar, tapi aku dengan fasih bisa menyebutkan semua tayangan2 hollywood. Benar2 gila...

Saat memasuki tahun2 pertama SMP, tayangan sudah beragam. TV swasta mulai membanjiri dan TV pun sudah pake remote controller. Film kartun tetap menjadi favorit. Casper and Friends membuatku tergelak2 walau si hantu botak itu sudah fasih berbahasa Indonesia. Aku benar2 takjub dengan ke rupawanan John Haymes Newton dan Stacy Haiduk yg setia berkunjung tiap sore di Superboy. Sore hari, si monster rawa baik hati Swamp Thing mulai meneror. Belum lagi adaptasi Enyd Blyton Empat Sekawan yg sangat seru. Power Rangers walaupun sedikit membosankan juga tetap ditonton. Hari2ku diwarnai dengan kursus bahasa Inggris, bermain, belajar, dan mengingat jadwal tayang serial2 favorit..

Tuesday 1 June 2010

20 Tahun lalu...Diva paling berpengaruh di dunia itu merilis album perdana-nya...




On May 15, 1990, a then unknown singer named Mariah Carey released her first single, "Vision Of Love." Like all new artists, things didn't happen overnight. After much preparation, promotion and as Mariah put it herself to Billboard, "a culmination of a lot of hard work and a lot of dreams," "Vision Of Love" started to make some ground at radio and retail, debuting at #73 on the Billboard Hot 100 on the June 2, 1990 chart.

The first time she heard her debut single "Vision Of Love" on the radio, she was ecstatic, to say the least.

Four days after her very first TV appearance on The Arsenio Hall Show, Mariah found herself center court the first game of the 1990 NBA Finals in Detroit performing "America The Beautiful." The live appearance was a smart marketing move with more than 20,000 people in the stadium and an estimated 14.3 million viewers watching at home. "I've never sung infront of that many people. I was really nervous and when I watch it now it's like this incredible feeling because I went up to the high note at the middle of 'from sea to shining sea.' The whole crowd really, really responded to it and nobody knew who I was at all. And like when I watch the responses of the basketball players, that was a special time for me."

Almost three weeks later, after an upward trend in popularity and visibility, CBS Records released her debut album Mariah Carey on June 13, 1990. CBS was so sure they had a hit on their hands that they launched the largest and most expensive campaign for a new artist since Bruce Springsteen released Born To Run in 1975.

Mariah Carey initially started out slow (which most albums did before the Soundscan era, even for established artists), debuting at #80 on the Billboard 200 on the June 23, 1990 chart. As "Vision Of Love" eventually reached the upper ranks of the Billboard Hot 100, Mariah Carey moved up in its respective chart accordingly. It reached a peak position of #4 on the Billboard 200 when "Vision Of Love" ascended to the top of the Billboard Hot 100 on the August 4, 1990 chart. Mariah Carey was certified platinum just a few weeks later.

Aside from the power of Mariah's vocal, the message of "Vision Of Love" also connected with listeners. While some people have interpreted "Vision Of Love" as a love song, Mariah has said the lyrics actually describe her feelings after finally getting a record deal. In talking to MTV News, Mariah explained that "'Vision Of Love' is about a lot of things. I wrote it right after I signed my deal with Columbia Records and it was a major turning point in my life but it was mostly sort of finding an inner peace and an inner strength because of this major achievement... Basically just a celebration of my life and the things that were happening in my life when I wrote the song."

The lyrics express a theme that would show up in future Mariah songs; the belief that humans can persevere and good fortune will come. Mary J. Blige describes the effect the song had on her in stating, "Mariah Carey's music saved little ghetto children's lives. Songs like 'Visions of Love' gave us hope and we would sing those songs and try to hit every note like Mariah—which we can't." Even Snoop Dogg said, "I always tell [Mariah] this story: When I was locked up in jail, that song 'Vision of Love' was the hottest song in the world." Jay-Z, too, listened to the song while serving time. It's clear the message of "Vision Of Love" cuts through many situations.

While many people can recall first hearing "Vision Of Love" and some even say it is what made them want to sing, the influence of the song runs even deeper. "Vision Of Love" literally set the standard for female singers. As Sasha Frere-Jones wrote in New Yorker, "'Vision of Love' is the Magna Carta of melisma... Carey made melisma a required move for both R&B singers and contestants on American Idol."

Even an artist like Nelly Furtado has said she learned to sing by listening to Mariah's debut album (including "Vision Of Love") and wrote songs similar to Mariah songs. Rich Juzwiak of Slant puts it more succinctly: "I think ['Vision Of Love'] was a vision of the future world of American Idol." In fact, two American Idol winners have said Mariah played a big part in their wanting to become singers. First season winner Kelly Clarkson told American Idol Rewind she realized she wanted to be a professional singer when she sang "Vision Of Love" in a choir solo in seventh grade. Sixth season winner Jordin Sparks told CTV that when she saw Mariah performing on an awards show, "I knew then that's what I wanted to do."

As soon as "Vision Of Love" let up, "Love Takes Time" was right around the corner to keep Mariah Carey selling. The timing was so immaculate and "Love Takes Time" became so popular (it reached #1 on the November 10, 1990 chart and remained at the top for 3 weeks) that the album received a new peak of #3 on the Billboard 200 and stayed within the Top 5 albums all through the later, more competitive part of the year. Towards the end of 1990, "Vision Of Love" finished as the #6 single of the 1990 chart year and Mariah Carey officially became a multi-platinum selling artist.

Mariah would later tell MTV News, "It seems like everything that I did in the first year that I came out with my first album is like a blur."

This was just the beginning of the whirlwind. Mariah Carey had arrived, and she wasn't going anywhere anytime soon.

The Good Wife Review

"The Good Wife">>>>>Ditulis dan digarap pasangan suami istri Robert dan Michelle King, The Good Wife terinspirasi berbagai kisah nyata seperti mantan Presiden Bill Clinton, mantan Gubernur New York, Eliot Spitzer dan mantan Senator dan calon Wapres AS John Edwards, di mana istri-istri mereka harus menghadapi kenyataanmemalukan akibat perserongan suami dengan wanita lain.


Serial produksi CBS yang mendapatkan rating tinggi di AS ini menceritakan kisah Alicia Florrick, yang diperankan pemenang Emmy Awards Julianna Margulies (terkenal sebagai perawat Hathaway, kekasih George Clooney dalam serial "ER").


Dalam kisah itu, suami Alicia, Peter Florrick (Chris Noth, pemeran Mr. Big di "Sex & The City") adalah seorang politisi dan Kepala Kejaksaan di Cook County (Chicago), yang mengumumkan kepada media dan publik tentang pengunduran dirinya akibat skandal seks.



Enam bulan setelah pengunduran dirinya, Peter dijebloskan ke penjara dengan dakwaan menggunakan uang negara untuk membayar wanita demi mendapatkan layanan seks.



Sebagai istri dan ibu dua anak remaja yang harus memikul tanggung jawab atas keluarganya, Alicia kembali memasuki dunia kerja sebagai pengacara, profesi yang telah ditinggalkannya selama 13 tahun.



Skandal Peter membuat Alicia dikucilkan. Meski tidak lagi menjadi sorotan media massa, tetapi ia dijauhi sahabatnya dan dijadikan bahan pergunjingan oleh publik terutama orang-orang di sekitarnya yang penasaran dan ingin tahu kebenaran peristiwa yang dialaminya.



Alicia yang sudah berusia di atas 40 tahun pun harus beradaptasi dengan profesi barunya dalam menangani berbagai kasus di pengadilan, juga harus menghadapi kompetisi dan politik di dunia kerja dengan koleganya yang lulusan Harvard dan berusia 20-an, Cary Agos (Matt Czuchry).



Di tengah kesesakan itu Alica mendapatkan dukungan dari Kalinda Sharma (Archie Panjabi, Bend It Like Beckham, The Constant Gardner), seorang penyidik internal yang andal dan berkarakter keras, dan Will Gardner (Josh Charles), teman lama semasa kuliah, yang terus menemani dan berupaya membangun kepercayaan dirinya.



Selain itu, juga ada Diana Lockhart (Christine Baranski), partner dan pengacara senior di firma hukum tempatnya bekerja, yang bersedia menjadi mentornya.



Dengan produser eksekutif Robert dan Michelle King serta Tony dan Ridley Scott, (Gladiator, Black Hawk Down), The Good Wife yang dibesut sutradara Charles McDougall mendapat pujian kritikus film di AS.



Ceritanya yang kuat dan terasa nyata serta permainan cantik Julianne tidak kurang membuat serial ini mendapatkan dua nominasi SAG Awards untuk kategori "Outstanding Performance by an Ensemble in a Drama Series" untuk semua pemeran, dan kategori "Outstanding Performance by a Female Actress" untuk Julianna Margulies, satu nominasi Writers Guild Award (WGA) untuk "Best New Drama" dan satu nominasi Golden Globe Awards kategori "Best Performance by an Actress in a TV Series" untuk Julianna Margulies.



Kabar baiknya, DVD originalnya mmg belum dirilis di Indonesia, tp verssi TV ripped off nya sdh beredar, hanya 3 cd berisi 23 episode..wow..!!!